Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Keenam

Untuk beberapa saat Dinda masih berpikir-pikir, menimbang-nimbang apakah dia tadi tidak melanggar “wilayah pribadi” Nana.

Dinda gadis grafiti

Adek—” tukas Ayah. Terdengar terkejut bukan main.

“Konsekuensinya? Kalau maksudmu hukuman…. Ya, nggak ada…. Nilai tahfizmu dalam rapor Asrama nanti kosong, begitu saja sih, konsekuensinya.” Ustazah Sofia tertawa kecil. “Tapi sampai saat ini belum pernah ada siswa asrama yang nilai tahfiznya kosong. Kebanyakan malah sudah hafal 20-30 juz saat lulus sekolah.”

“Adinda juga begitu, Ustazah Sofia. Dia pasti ikut kelas tahfiz,” tukas Ayah tegas. Lirikan mata Ayah saat memandang Dinda membuat Dinda mengerut. Tapi dalam hati ia sudah merencanakan berbagai cara untuk menghindari kelas itu. Biar saja Ayah marah.

Ustadzah Sofia kemudian melanjutkan menerangkan beberapa kegiatan khas Asrama yang tertera di jadwal. Salat berjamaah setiap Maghrib dan Isya, kuliah tujuh menit bergiliran antara semua siswa.

“Siswa perempuan juga, Ustazah?” tanya Ayah. Ustazah Sofia tersenyum.

“Ya, siswi juga, tapi bukan di Masjid Sekolah, melainkan di Musala Asrama,” katanya. Jadi setiap selesai salat Isya, siswa perempuan kembali ke Asrama untuk melanjutkan kultum dan tadarus di Musala. Setelah itu belajar mandiri. Jam tidur adalah pukul 21.30.

Mampus, pikir Dinda. Aku paling nggak bisa ngomong di depan banyak orang. Apalagi kalau harus ceramah…. Aduh, kenapa sih Ayah memasukkanku ke neraka ini?

Satu-satunya hal yang disyukuri Dinda adalah, sekolah berakhir setiap Jumat sore. Siswa yang rumahnya dekat dari sekolah diperbolehkan menghabiskan akhir pekan di rumah masing-masing.

Dinda merasa sangat letih saat Ustazah Sofia selesai menerangkan semua kegiatan. Dia terperenyak di kursi, lesu memikirkan hari-harinya yang akan datang di sekolah ini.

Penuh sekali, pikirnya sambil merenungi kertas jadwal di tangannya.  Aku pasti nggak akan punya kesempatan bikin graffiti lagi. Jangan-jangan menggambar pun nggak bisa lagi. Thanks, Ayah. Thank you for dumping me in this s**t place and ruining my life.

•••

Tak ada yang lebih mengerikan bagi Dinda selain malam pertamanya tidur di Asrama. Jendela kamarnya tertutup tirai, tapi payahnya kaitan besi yang menyangga tirai itu membuat ada celah selebar lima senti di antara kain tirai dan jendela. Itu cukup untuk membuat Dinda terus menerus melotot ke arah sana, merasa bisa melihat mata makhluk entah apa yang sedang mengawasinya. Lebih parah lagi, saat makan malam tadi dihidangkan gulai tuna, dan Dinda kebanyakan makan. Akibatnya sekarang perutnya terasa begah. Penuh sekali.

Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Keempat

Semoga aku nggak sakit perut, pikir Dinda. Gawat kalau aku mules. Aku nggak mau ke wese sendirian.

Kamar mandi dan wese Asrama terletak di ujung lorong di setiap lantai. Sebuah ruangan luas dengan tegel keramik putih serta deretan keran shower dan toilet yang disekat dengan dinding-dinding lempengan besi hijau dan merah muda. Di situ juga ada beberapa bak cuci tangan dan cermin yang besar. Dinda tidak begitu gembira melihat cermin besar itu. Ia yakin kamar mandi itu ada hantunya.

Dinda berbaring dengan mata nyalang, mendengarkan detak jam besar di lorong Asrama. Teman-teman sekamarnya agaknya sudah tidur semua. Saat makan malam tadi mereka menghampiri Dinda dan memperkenalkan diri. Yang tidur tepat di samping Dinda bernama Dea. Ia pendek, gempal, dan selalu tertawa. Di seberang Dea adalah pembaringan Putri. Kebalikan dari Dea, ia tinggi, kurus dan serius. Tapi keduanya bersahabat baik. Yang terakhir adalah Azriana alias Nana. Tadi ia mengenakan jilbab hitam dan mantel hitam, kaca matanya berbingkai hitam tapi gagangnya kuning. Hidungnya mancung sekali. Buat Dinda, gadis itu nampak seperti burung beo. Burung beo yang cerdas dan tahu segala.

Saat Nana membuka jilbabnya, tampak rambutnya yang keriting, diikat sembarangan di puncak kepala. Dinda menyukai penampilan anak itu. Ada sesuatu yang membuat Dinda merasa bisa mempercayainya.

Dinda menarik nafas panjang. Sekali lagi melirik jendela. Tahu-tahu didengarnya suara desahan panjang. Dinda kaget, bulu romanya kontan berdiri. Apa itu tadi?

Sekarang suara desah itu berganti keluh lirih. Nyaris seperti isakan. Seketika itu juga Dinda terduduk.

Ampun, kumohon, jangan ada hantu di Asrama ini, ya Allah, pikir Dinda. Digosoknya lengannya, yang merinding seperti kulit ayam dicabut bulu. Nggak ada hantu saja aku sudah susah tidur….

Isakan tadi terdengar lagi. Dinda menelan ludah. Aduh, tolonglah, jangan gentayangan di sini, pikirnya. Cari saja tempat lain.

Terdengar gemerisik kain. Seseorang membalikkan badan di pembaringannya. Menyusul suara keluhan lagi.

Mendadak Dinda tersadar bahwa suara itu berasal dari pembaringan Nana. Dilebarkannya mata, berusaha menembus kegelapan kamar, melihat ke seberang. Setelah akhirnya matanya terbiasa dengan kegelapan, Dinda dapat mengenali sosok Nana. Berbaring meringkuk, kedua lengannya terangkat membungkus kepala. Perbuatan itu sedikit meredam suara isaknya. Namun Dinda masih bisa mendengar suara hidung mendengus.

Dinda mengerjap. Bunda bilang, menolong atau mencoba menghibur orang lain yang tengah kesusahan akan menghalau kesedihan serta masalah kita sendiri. Sebetulnya Dinda menduga itu semacam tahayul baru. Sengaja dibuat Bunda untuk mengajarinya berempati. Tak tahu apakah itu benar atau tidak. Tapi yang jelas, ia tak pernah bisa membiarkan ada seseorang yang merasa sedih, atau dirundung masalah, tanpa  berusaha menolong atau sekedar memberi perhatian.

Hati-hati Dinda bangkit. Lantai kamar terasa dingin di bawah kakinya yang telanjang. Mengendap mendekat, hingga ia dapat berdiri di ujung pembaringan Nana. Dinda berbisik:

“Nana…. Are you okay?”

Dari gerak bahu Nana, Dinda tahu bahwa gadis itu terkejut mendengar bisikan Dinda. Tapi ia tak menyahut. Bergerak pun tidak. Dinda berpikir sejenak.

Can I get you something? Some drink?” dicobanya bicara lagi. Rupanya itu membuat Nana marah, karena gadis itu lantas berdesis sengit:

This is none of your business. Go ‘way!”

Dinda paling tidak suka diremehkan, dan diusir begitu membuatnya merasa tertantang. Dinda maju setapak.

“Aku nggak akan pergi sampai kamu bilang, ada apa,” katanya. “Orang kan nggak mendadak nangis tengah malam kalau nggak ada apa-apa.”

“Nggak usah melit deh. Sana pergi. Aku nggak perlu bantuanmu.” desis Nana judes. Dinda mengerutkan dahi.

“Kalau begitu berhenti menangis. Suaranya sampai ke tempat tidurku, dan itu bikin aku nggak bisa tidur,” ujarnya. Dengan tegas Dinda berbalik, kembali ke ranjangnya. Dinda membaringkan diri, menarik selimut menutupi kaki.

Kenapa sih si Nana itu, pikirnya sendiri. Mau kutolong malah ngambek. Ya sudah.

Dinda membalikkan badan, memunggungi jendela. Di tempat tidur di sampingnya, Dea mendengkur pelan. Telinga Dinda tak lagi menangkap isakan dari arah Nana.

Untuk beberapa saat Dinda masih berpikir-pikir, menimbang-nimbang apakah dia tadi tidak melanggar “wilayah pribadi” Nana. Jangan-jangan Nana memang tak ingin orang lain tahu masalah yang tengah dihadapinya. Dan tindakan Dinda tadi sudah sangat mengganggunya.

Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Kelima

Tapi kalau dia memang ingin main rahasia, harusnya nangisnya jangan ‘gitu sekali sampai terdengar semua orang, pikir Dinda, membela keputusannya sendiri. Sampai kukira setan. Ya sudahlah. Besok kalau dia menangis lagi aku nggak akan ambil pusing.

Dinda tak tahu kapan ia tertidur. Yang jelas, mendadak saja ada dering nyaring merobek kesunyian. Disusul sebuah suara mengumumkan, “Pukul lima. Semua siswa segera berkumpul di Masjid Utama.

Suara itu aneh sekali. Seperti suara komputer di film-film fiksi ilmiah.

(Bersambung ke Bagian Ketujuh)

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *