Paman Rustam mengajar di Tapaktuan. Tapi jarak ibu kota Aceh Selatan itu dengan kota kecil kampung halaman mereka hanya dua jam berkendara. Bagi Paman Rustam yang senang bepergian, itu sama saja dengan jalan-jalan sore.
Rumah yang dibeli Ayah terletak di ujung ruas jalan yang menyusuri Pantai Keutapang, salah satu pantai terindah di Barat-Selatan. Ayah telah meminta Paman Rustam mencari tukang untuk memperbaiki dan merombak rumah itu, menambahkan lantai dua dan garasi, sehingga ketika Dinda berdiri di halamannya, yang dilihatnya adalah sebuah rumah bercat putih dengan atap seng baru berwarna biru terang.
Bagian depannya tinggi, orang harus naik tiga jenjang untuk mencapai serambinya yang terbuat dari batu. Halamannya sendiri memanjang, sekitar sepuluh meter. Di belakang masih ada halaman lagi. Panjang sekali. Lebih dari lima belas meter. Paman Rustam telah memagari seluruhnya dengan tembok, juga menanam rumput dan beberapa tanaman lain, yang tahan angin deras dan udara bergaram. Penampakan rumah itu nyaris seperti resort.
Dinda masuk ke rumah. Seluruh rumah itu berbau cat baru yang aneh. Bagi Dinda, terasa begitu asing, tak akrab. Ia langsung merindukan kamarnya yang lama. Dindingnya, dengan reproduksi graffiti Banksy, Girl with Balloon. Lantainya yang dingin, karpetnya yang biru. Tempat tidurnya, lemari buku, meja gambar, semuanya.
Dinda duduk di pembaringan yang belum diberi alas. Melipat lutut hingga ke dagu. Air mata mengalir diam-diam ke pipinya.
•••
Hari itu Ayah mengajak Dinda dan Dedek membeli beberapa barang keperluan sekolah. Bang Tareq ikut, tapi ia minta diturunkan di sebuah kafe. Katanya ia janji bertemu beberapa kawan. Setelah menurunkan Bang Tareq mereka bertiga melaju ke jantung kota. Berhenti di sebuah swalayan besar, yang bagian atasnya berupa toko buku dan berbagai peralatan sekolah lainnya.
Dinda menaiki tangga menuju toko buku, merasa sebal karena harus membuka alas kaki di dasar tangga. Sedangkan ia mengenakan sneakers dengan tali penuh, yang sulit dibuka. Mood Dinda sudah tidak bagus ketika ia mencapai lantai dua. Apalagi karena sejak tiba di Aceh, Ayah mengharuskannya mengenakan kerudung. Karena Dinda tidak mengenakan bandana di balik kerudungnya, maka kain kerudung itu terus-menerus meluncur menutupi matanya.
Dengan sebal Dinda menarik kain itu, kedua tangannya menyusup ke baliknya, berusaha membenahi rambutnya yang terburai ke kening. Saat berbuat begitu Dinda tidak menghentikan langkahnya. Akibatnya, detik berikutnya ia menghantam punggung seseorang.
“Aduh!” seru Dinda. Karena kaget (dan hidungnya sakit terbentur), sekering Dinda langsung putus. Dia naik pitam. “Heh! Matamu di mana!!” bentaknya.
Orang yang ditubruknya tertegun. Dinda menarik kerudungnya, memeganginya di kanan-kiri kepala agar tak meluncur turun lagi. Baru ia bisa melihat orang yang ditabraknya. Seorang cowok jangkung, alis dan rambutnya tebal sekali sampai terlihat mustahil. Ia mengenakan oblong dilapisi kemeja flanel kotak-kotak model tahun ketika ayah Dinda mahasiswa.
“Kenapa berdiri di situ, seenaknya ngalangin jalan!” Dinda melanjutkan sergahannya. Sekarang wajah cowok itu berubah. Ekspresinya campuran antara marah dan geli.
“Lho. Ada koala ngamuk,” katanya dingin. Oblong Dinda kebetulan bergambar koala. “Yang nubruk siapa, yang ngamuk siapa. Kamu sendiri yang harus lihat-lihat kalau jalan…. Ini area kasir kakaaaak…. Cuma yang mau bayar yang boleh berdiri di sini!”
Dinda tercengang. Rupanya karena matanya terhalang tadi, ia telah berjalan miring, langsung menuju jalur antrean di kasir. Cowok yang ditabraknya memegang beberapa gulung kertas dan sekotak marker, jelas ia hendak membayar barang-barang itu. Karena malu setengah mati, Dinda mengeluarkan jurus ngeles:
“Ya… tapi tetap aja nggak boleh ngalangin orang jalan!”
“Kalau jalannya nggak kayak koala mabok sih pastinya nggak bakal nabrak,” sahut cowok itu, ketawa sinis. Dinda merasa darah naik ke pipinya. Ia buru-buru melipir ke gang di antara rak yang terdekat. Menghilang di antara display berbagai ransel dan tempat-tempat pensil.
Firasat buruk nih, pikirnya. Lusa ia akan mulai bersekolah, dan hal pertama yang dilakukannya saat hendak membeli peralatan sekolah adalah menabrak orang. Pikiran ini membuatnya tambah enggan berangkat ke tempat yang akan dihuninya selama dua tahun ke depan itu. Tapi ia tak bisa mengelak.
Dari balik rak dilihatnya cowok tadi membayar barang-barang pembeliannya. Lalu menuruni tangga keluar. Di punggungnya kini tergemblok sebuah ransel. Lambang klub sepak bola Persiraja berendeng dengan FC Barcelona, menyolok sekali ditempelkan di bagian tutup ransel.
Dinda mencebik. Dia paling tidak paham olahraga satu itu. Dua puluh laki-laki berlari mengejar satu bola, untuk ditendang lagi menjauh. Dikejar lagi. Tendang lagi. Aneh. Kenapa nggak dibagi masing-masing satu bola. Kan beres.
Dinda menghela napas panjang. Dipilihnya setumpuk buku, beberapa alat tulis, ditambah marker. Matanya membesar melihat cat akrilik dari merek yang disukainya. Toko di ujung dunia ini punya cat akrilik! Ini keajaiban! Saking heran, Dinda mengambil dua tube akrilik, mengumpulkannya di tumpukan belanjaannya. Dedek sudah pula menumpuk pilihannya. Tak lama Ayah bergabung, menambahkan dua buah rehal kayu.
“Ini untuk ditaruh di sekolah,” katanya. Dinda memandangi benda itu. Di kepalanya melintas bayangan hari-hari yang akan dilaluinya di sekolah. Ia merasa tidak nyaman. Semuanya terasa begitu asing.
Dan dua hari kemudian ketika ia sudah tertegun di sebuah ruangan berplafon tinggi, menunggu Ayah membereskan pencatatan namanya sebagai siswa Asrama, perasaan tak enak itu bertambah.
Tadi Kepala Asrama menyelenggarakan semacam tes kecil untuknya. Ia diminta membaca beberapa ayat dalam surah Al Baqarah. Dinda mengerjakannya, yakin performanya buruk, tapi pura-pura tak peduli. Ia ingin menunjukkan pada Ayah bahwa ia tak peduli tentang apa pun yang berkaitan dengan sekolah ini. Atau apa pun yang diusulkan Ayah, bahkan, ya, dengan keseluruhan hidup ini.
“Jiwaku mati begitu aku keluar dari Jakarta,” pikir Dinda. “Dan memang akan begitu jadinya. Di sini sama saja seperti di kuburan. Tak ada apa pun yang bisa kulakukan. Ayah mau menguburku di sini… baiklah. Kita lihat saja nanti. Semoga aku bisa benar-benar mati. Supaya bisa terbebas dari tempat ini. Dan ketemu Bunda lagi.”
Ruangan tempatnya duduk adalah Kantor Kepala Asrama. Ruangan itu sejuk, jendela-jendela setinggi plafon ditutup arabesk di salah satu sisinya. Sofa yang diduduki Dinda hijau warnanya, senada dengan hamparan, yang tampak indah diletakkan di atas lantai ruangan yang terbuat dari parket kayu. Dinda duduk menatap lantai, merasa sunyi dan kesepian. Kopor kecil dan travel bag di dekat kakinya menambah kesepian itu.
Dinda tak kenal seorang pun di sekolah ini. Sedangkan di rumah, ia pun merasa tak bisa berlindung pada Ayah, atau Bang Tareq. Keduanya jelas ingin ia bersekolah dan masuk asrama. Mereka seolah-olah tak menginginkan kehadiran Dinda lagi. Dedek juga begitu. Saat diantar ke Asrama SMP-nya tadi, ia tampak senang. Langsung mendapat dua kawan, yang mengajaknya bergabung ke Ruang Bersama.
(Bersambung ke Bagian Kelima)
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )