“Halo,” kata lelaki itu. “Kamu kawan anakku ya?”
Logatnya asing, pikir Dinda. Logat mana ya? Dinda belum pernah mendengar.
“Ya, Oom,” sahut Dinda. Dia merasa tak nyaman, tanpa tahu sebabnya. Cepat dialihkannya tatap pada Nana. “Bubbye. Sampai ketemu lagi Ahad sore ya?”
“Yeah.” Nana tersenyum kecil. Mobil SUV itu mundur, lalu berputar meninggalkan halaman parkir yang dipenuhi mobil penjemput siswa Asrama. Dinda naik mobil di samping Dedek. Begitu ia naik, Ayah segera mengendalikan mobilnya, meluncur pergi.
“Ta, you’ll never guess what Ayah did!” kata Dedek.
“Apa?” kata Dinda, agak kesal. Pikirannya masih tertuju pada Nana. Pada ceritanya tentang keluarganya, dan senyum aneh ayah tirinya. Sebetulnya nggak aneh ah, bantah Dinda sendiri. Biasa aja. Tapi aku juga nggak ngerti kenapa aku mendadak merinding.
“Ayah bikin kafe!” Dedek nyaris berseru. “Di pinggir laut! Dan kafenya ada lantai duanya! Kita bisa lihat Pulau Kepiting dan Pulau Gurita dari atas situ!” Dedek menyebut kedua pulau karang kecil di Teluk Sigupai.
“Oh,” Dinda menatap berkeling dengan sikap tak percaya. Dilihatnya Bang Tareq tengah menatapnya. “Betul, tu, Bang?”
“Iya. Bahkan kalau hari cerah, kita bisa menghitung hiu di penangkaran yang ada di Pulau Kepiting. Jelas sekali dari balkon kafe!” bual Bang Tareq. Sebenarnya bukan itu pertanyaan Dinda. Dia ingin tahu apakah benar Ayah mendirikan sebuah kafe. Tapi tak urung, kata-kata Bang Tareq tadi sudah sekaligus mengonfirmasi apa yang ingin Dinda ketahui.
“Di Pulau Kepiting ada penangkaran hiu??” ujar Dinda.
“Ya, ada,” Ayah yang menjawab. “Ada sekelompok ilmuwan biologi perairan sedang meneliti di sana. Mereka sudah beberapa kali ke kafe kita. Minum kopi dan bekerja. Mereka perlu jaringan wifi dan kafe kita wifi-nya lumayan kuat.” Ayah terdengar bangga.
“Oh?” lagi-lagi hanya itu yang bisa dikatakan Dinda. Baru sepekan ia tak bersama keluarganya, sudah banyak perkembangan terjadi. Dan ia tak diberitahu. Dinda sakit hati. Ia makin yakin bahwa tujuan Ayah menyekolahkannya di SMA Pelsa adalah untuk menyingkirkannya.
“Ayah bilang aku boleh masak mi dan nasi goreng di kafe!” ujar Dedek penuh semangat. “Aku mau belajar buat kupi sareng juga, ya Ayah?” Ayah tertawa mendengar semangat meluap anak bungsunya. Dedek memang suka masak. Seperti Ayah.
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Sepuluh
“Boleh,” sahutnya. “Asal Dedek ajak kawan-kawan Dedek semua minum jus ke kafe kita nanti. Supaya kafe kita banyak pelanggan.”
“Bereeees Ayaaah!” kegirangan, Dedek menyetujui.
“Maksud Ayah, kita betul-betul punya kafe?” Dinda mengangkat alis. “Ayah beli kafe??”
“Nggak beli. Sewa,” sahut Ayah. “Maksudku…. sekarang ini kerjaku menulis saja. Penghasilanku hanya dari royalti buku-buku yang sudah terbit. Pekan lalu selesai mengantarmu dan Dedek ke sekolah, kami melewati kafe itu. Pemiliknya mau pindah ke Banda Aceh dan kafe itu disewakan. Nah, aku suka makan, suka masak. Kupikir nggak ada salahnya mencoba mengelola kafe. Jadi kusewa saja kafe itu.”
“Oh.” itu ‘oh’ Dinda yang ketiga.
“Nanti jangan langsung pulang ke rumah, Ayah! Kita ke kafe dulu!” usul Dedek. Ayah tertawa.
“Boleh saja. Hmm….” dari kaca intai, Ayah menatap Dinda. Dinda jadi tegang.
“Aku dan abangmu sudah berusaha mendekor kafe kita sebisanya. Tapi ada dua bidang dinding di kafe yang sangat nggak menarik,” kata Ayah. “Polos, catnya juga sudah buluk. A real eyesore. Kupikir…. kalau dinding itu dilukisi, jadinya pasti akan menarik sekali. Apa Adek mau membuat mural atau doodle di situ, Dek?” mata Ayah memperhatikan Dinda.
Bang Tareq menoleh pada Ayah. Tampak tertarik. Tapi yang langsung menyambut dengan komentar adalah Dedek.
“Waaah, ide bagus itu, Ayah!” katanya. “Tata bisa mengerjakannya tiap akhir pekan! Panjangnya berapa, Yah?”
“Panjang apa?”
“Dindingnya, lah!”
“Oo,” Ayah terhehe. “Ayah pikir panjang apa. Yang satu bidang sekitar tiga kali delapan meter. Itu di area duduk. Satu bidang lagi tiga kali lima, di area bar.” Sekali lagi mata Ayah melihat pada Dinda. Dinda pura-pura tak menyadarinya. Padahal usul itu menariknya seperti lampu menarik laron.
Sebelum sampai di area Pante Keutapang, di sebuah perempatan Ayah membelokkan mobilnya ke kanan. Menyusuri jalan yang kemudian bercabang dua. Yang sebuah menuju dermaga Pasie Keluang, satunya ke pantai wisata Pulo Deudap.
Pantai itu landai, ditumbuhi pohon-pohon dadap laut berbunga kuning dan cemara udang, serta dihampari pasir krem kasar. Pemecah ombak dari batu gajah melengkung di muka pantai. Membuat ombak yang sampai ke pasir memecah tenang dan lembut.
Ada beberapa kafe di pantai itu, tempat pengunjung bisa minum air kelapa dan berbagai minuman segar. Dihari tertentu, kita bisa pula memesan ikan bakar, dipilih sendiri dari sediaan ikan segar yang ditunjukkan pemilik kafe. Jenis ikan yang bisa dipilih sangat beraneka. Mulai dari tongkol hingga kerapu merah dan ikan rambeu (bawal) yang terkenal lezat.
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Sebelas
Ayah menghentikan mobil di bawah sebatang pohon pinus pantai raksasa. Beberapa meter dari pohon itu berdiri sebuah bangunan dua lantai. Dibangun menurut kebijakan tropis, bangunan itu berdiri di atas lusinan tiang, dua meter di atas pasir. Lantainya masonry, semen kelabu, dikombinasikan dengan lempengan batu. Dua buah tangga menghubungkan lantai dasar dengan lantai dua. Lantai dua hanya lantainya yang dari beton. Dindingnya adalah kayu kelapa yang berkilauan. Area duduk yang terbuka di kedua lantai dipenuhi kursi dan meja.
Dinda menghitung ada sekitar lima meja yang diduduki pelanggan. Dan dari suaranya, tampaknya di lantai dua pun ada beberapa orang yang duduk. Seorang lelaki sedang meracik kopi saring di belakang bar. Seorang pemuda menenteng baki penuh gelas, menaiki tangga ke lantai dua. Di sekitar bangunan, di bawah pohon keben dan pinus pantai, juga diatur beberapa meja dan kursi. Sepasang suami istri muda dan anak mereka yang masih kecil sedang makan mi di situ.
Ayah menghampiri meja bar. Melambai ke arah anak-anaknya agar mendekat.
“Ini barista spesialis kopi kita, Cik Anwar,” kata Ayah. Lelaki yang sedang meracik kopi tersenyum, mengangguk. “Kalau untuk jus, Thai tea dan yang sejenis begitu, ada spesialis lain… Naah itu dia orangnya,” Ayah melambai pada pemuda berkaca mata yang baru muncul dari arah dapur. “Ini Bang Mulkan.”
“Halo,” pemuda berkaca mata tadi menyalami Dinda dan Dedek. Dengan Bang Tareq, ia bertumbuk tinju.
“Kalau mau belajar buat minuman, belajar sama Bang Mulkan, Dek,” kata Ayah. Dedek berseri-seri menatap Bang Mulkan.
“Baik. Ajari aku, ya Bang.”
“Aman tu,” senyum Bang Mulkan.
“Nah, tinggal tiga orang lagi. Bang Irfan, cook kita, Bang Sadri, waiter, dan Kak Yani, kasir,” kata Ayah. “Kak Yani sedang giliran istirahat. Kayaknya Bang Irfan di dapur. Sadri tadi kulihat bawa kopi ke atas.”
“Ya, Sadri di atas,” Bang Tareq menimpali.
“Nah, Dek,” Ayah menatap Dinda. “Itu dinding yang Ayah bicarakan tadi.” Tangan Ayah menunjuk dinding di belakang bar kopi di kiri dan bar jus di kanan. “Satu lagi di atas. Nanti kutunjukkan. Kalau Adek mau belanja cat, biar Bang Tareq yang antar–“
Ayah berhenti bicara. Kepalanya berpaling ke arah luar kafe, ke halaman pasir. Sebab saat itu serombongan orang tampak menaiki tangga batu dari arah pantai, masuk ke halaman kafe. Mereka berenam. Empat dari tamu yang baru tiba itu orang kulit putih. Wajah dan lengan mereka coklat terbakar matahari. Salah satu dari mereka, seorang pemuda tinggi besar, rambutnya yang semula pirang sudah keputih-putihan terkena panas.
(Bersambung ke Bagian Tiga Belas)
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )