~ Di Aceh, orang menghadapi Corona dengan berkumpul di warkop
Seorang teman mengatakan untuk saat ini lebih baik tetap tinggal di Inggris karena penanganan Covid-19 di Britania Raya lebih baik ketimbang Indonesia. Satu sisi saya sangat setuju, akan tetapi tidak tanpa kekurangan (flaw).
Maksud saya begini, sistem kesehatan Inggris memiliki program layanan kesehatan masyarakat bernama NHS atau National Health System. Mungkin, di Indonesia seperti JKN atau JKA di Aceh.
NHS ini terbagi menjadi NHS England, NHS Scotland, NHS Wales, dan Health and Social Care in Northern Ireland, sesuai dengan negara-negara konstituennya.
Seperti yang kamu ketahui, Bree, United Kingdom adalah negara kesatuan atau unitary state yang terdiri dari Skotlandia, Wales, Inggris, dan Irlandia Utara.
NHS adalah ujung tombak. Sebagai sebuah sistem kesehatan publik di Inggris, inilah institusi terpenting dalam melawan penyebaran virus Corona sehingga harus dijaga agar tidak jebol (overwhelmed).
Dalam tulisan ini saya mencoba menganalisis situasi yang terjadi saat ini di Inggris. Namun, saya perlu memberi disclaimer bahwa saya bukan ahli di bidang kesehatan. Saya hanya merangkum dan menganalisa informasi-informasi yang saya baca dari media.
Kebetulan, sekarang saya sedang berada di Inggris, tepatnya di Skotlandia, untuk menempuh pendidikan doktoral sejak 2016. Dan saat ini masih aktif sebagai doctoral researcher dalam bidang Kebijakan Energi di Centre for Energy, Petroleum, Mineral Law and Policy University of Dundee.
Dundee ini mungkin terdengar asing dan jauh, terutama bagi telinga pecinta sepak bola Inggris. Walaupun bagian dari Inggris, Skotlandia memiliki liga sendiri yang terpisah dan tentu saja kalah pamor dibandingkan Premier League.
Klub tenar di Scotland Premier kalau bukan Celtic ya Glasglow Rangers yang kini dilatih bekas penggawa Liverpool, Steven Gerrard.
Namun, di Dundee ada salah satu klub yang terkenal yakni Dundee FC. Mereka bermain di Scottish Championship. Klub berjuluk The Dee ini berkandang di Stadion Dens Park yang tidak begitu jauh dari kampus saya.
Setelah Liga Inggris dihentikan sementara akibat wabah Corona, hal serupa terjadi di Scottish Championship. Stadion pun sepi dan aktivitas di sebagian besar fasilitas publik lainnya mulai berkurang.
Begitu juga dunia pendidikan di Scotland ikut terdampak dari outbreak Covid-19 ini. Principal (rektor) University of Dundee sendiri telah mengirimkan email kepada semua mahasiswa dan staf, menyampaikan bahwa saat ini semua kelas dibatalkan. Tidak ada lagi pertemuan tatap muka. Bagi para mahasiswa luar negeri, dipersilakan kembali ke negara masing-masing.
Selain itu Pemerintah Scotland, seperti dilansir The Times, juga merencanakan akan menutup sekolah-sekolah selama empat bulan sebagai upaya menunda puncak penyebaran Corona.
Namun, yang menariknya, hingga saat ini secara umum belum terjadi kepanikan di tengah masyarakat. Kebutuhan sehari-hari masih disuplai dengan baik walau langkah-langkah antisipatif terus dilakukan.
Untuk komunitas muslim, salat Jumat dan salat berjamaah masih dilakukan di masjid seperti biasa. Pengurus masjid melakukan langkah-langkah preventif seperti melapisi karpet masjid dengan plastik yang dapat segera diganti usai salat. Selain itu waktu salat dan khutbah juga dipersingkat.
Belum lama ini, WHO secara resmi telah menyatakan Corona sebagai pandemi, yakni wabah yang berjangkit serempak secara global.
Saat ini, Eropa disebut-sebut sebagai titik pusat baru penyebaran Corona. Italia dan Spanyol menjadi dua negara yang paling parah terdampak.
Tentu menarik untuk mengamati bagaimana kebijakan pemerintah-pemerintah di Eropa, khususnya di Inggris dalam menangani penyebaran Covid-19.
Hingga hari ini, Senin, 16 Maret 2020, Italia menjadi wilayah tertinggi suspect Corona di Eropa. Negara pizza ini sekarang di-lock down dengan 21 ribu kasus paparan corona virus.
Sementara itu, Perancis dan Jerman telah melarang kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang. Anehnya, hal ini tidak terjadi Inggris, konon lagi Skotlandia. Belum ada larangan resmi dari pemerintah Inggris terkait hal ini.
Menurut beberapa ahli, pelarangan kegiatan massal tidak memberikan efek yang besar. Walaupun tidak dilarang secara resmi, keputusan Premier League untuk menunda pertandingan sampai April patut diapresiasi.
Dalam pada itu, ada informasi terbaru yang menyatakan Amerika Serikat sudah memasukkan Inggris dalam daftar negara yang terlarang dikunjungi saat ini.
Pada Minggu, 15 Maret 2020, sekitar pukul 11.00 pagi sebuah SMS yang masuk ke handphone saya menginformasikan bahwa klinik atau general practice (GP) yang merupakan frontline pelayanan kesehatan di Inggris tetap beroperasi secara normal. Tapi, pintu masuk klinik akan dikunci.
Ini menandakan ada pembatasan aktivitas dan interaksi di klinik hanya untuk yang sudah membuat janji lewat telepon.
Selain itu, bagi yang merasakan adanya gejala-gejala seperti demam tinggi atau batuk disarankan untuk mengisolasi diri selama tujuh hari. Jika gejala berlanjut baru dianjurkan untuk menghubungi NHS.
Saya mencoba menghubungkan dengan hasil survei yang dirilis Channel4 pada 13 Maret. Hasilnya menunjukkan dari 1.000 tenaga kesehatan yang disurvei, 92 persen menilai fasilitas dan staf yang tersedia masih belum memadai untuk melawan outbreak dari virus ini pada puncaknya.
Untuk mengatasi hal ini, salah satu strategi yang akan ditempuh adalah berusaha memperlambat penyebaran virus ini (delay phase) untuk menjaga jumlah infeksi dalam kurva kemampuan (health service capacity) NHS, terutama di frontline. Dengan strategi ini, puncak penyebaran diharapkan dapat digeser di musim panas.
Namun, ide ini dipertanyakan oleh Jonathan Ashworth dari Partai Buruh karena bertentangan dengan best practice dan rekomendasi WHO. Walaupun demikian, hasil survei Observer memperlihatkan 44 persen peserta survei setuju dengan langkah-langkah yang ditempuh Pemerintah Inggris dan 30 persen tidak setuju.
Di saat website-website resmi klinik di Inggris menampilkan pesan pop-up bahwa NHS sangat siap (extremely prepared) dalam menangani virus corona, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson malah mengeluarkan sebuah pernyataan mengejutkan. Dia mengatakan, “Many more families are going to lose loved ones before their time (Akan ada lebih banyak keluarga-keluarga yang kehilangan orang tersayang sebelum waktunya).”
Secara eksplisit saya tidak berani menyatakan bahwa NHS tidak siap. Namun, akan ada indikasi jika puncak penyebaran Corona terjadi, NHS akan kesulitan menanganinya dengan strategi yang sekarang ditempuh.
Bahkan, Adam Kucharski dari London School of Hygiene & Tropical Medicine mengatakan tidak mudah untuk mengikuti langkah-langkah yang ditempuh di Wuhan. Terutama terkait pembatasan aktivitas.
Dalam praktiknya, negara maju seperti Inggris pun mengalami kendala yang signifikan dalam mengendalikan penyebaran virus ini. Sehingga sangat disayangkan kalau ada pihak-pihak yang meremehkan keberadaan pandemi ini.
Baca juga: Cara Pemerintah Kita Merespons Corona
Jika negara maju dengan kapasitas dan sistem kesehatan yang baik, masih belum memiliki rencana yang jelas dalam menangani pandemi Corona ini, bagaimana dengan Indonesia? Kita tentu sangat berharap Pemerintah Indonesia dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk mengatasi penyebaran virus ini.
Berdasarkan pengalaman dari China, pandemi Covid-19 akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan di sisi lain mereka sudah menghabiskan 16 miliar US Dollar untuk mengatasi wabah ini.
Indonesia sendiri menyiapkan Rp33,2 triliun. Sekilas uang memang penting tapi yang terpenting saat ini adalah ada upaya bersama pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi pandemi Corona ini. Virus ini tidak boleh kita remehkan, bukan begitu, Bree?
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )