Ronggur sudah masuk ke ambang itu, hati-hati melangkahi gulungan kanvas di dasar lemari. Nada mengikutinya. Setelah meraba-raba sejenak, Ronggur menemukan cara membuka pintu lemari itu. Dibukanya secelah, lalu mengintai keluar.
Mereka melihat sebuah ruangan luas dengan jendela berderet. Lampu-lampu bertudung kerucut bergantungan dari plafon. Dua-tiga buah menyala, menerangi belasan kanvas yang tersandar pada kuda-kuda berbagai ukuran. Beberapa kanvas itu sudah selesai dilukisi, beberapa masih berupa sketsa.
“….edan….” gumam Ronggur. Suaranya campuran antara tidak percaya dan takjub. Perlahan didorongnya pintu lemari membuka lebih lebar, lalu turun menjejakkan kaki ke lantai ruangan itu. Nada jadi sangat ingin tahu. Cepat disusulnya Ronggur. Saat melihat belasan kanvas yang diterangi cahaya lampu gantung, ia tertegun.
Objek lukisan pada semua kanvas itu adalah dirinya.
Nada yang tersenyum, Nada cemberut, sedang berdiri, duduk, menggambar, bahkan berbaring tidur. Belasan. Puluhan. Sketsa yang belum jadi, kertas-kertas yang tertabur di lantai, digores dengan cat, pastel, konte, charcoal…. semuanya bercoretkan profil wajah Nada.
“…kayaknya kamu punya fans garis keras, nih, Nis…” Ronggur mendesis.
Nada menelan ludah.
Tahu-tahu terdengar jeritan panjang yang membekukan darah. Sesosok bayangan jangkung botak menerjang ke arah Ronggur, mengayunkan sebuah kuda-kuda kayu. Untunglah Ronggur sempat menghindar. Kuda-kuda itu menghantam sebuah kanvas, yang lantas robek seraya menimbulkan suara derit keras. Nada memekik.
Orang yang tadi menyerang Ronggur memungut potongan kayu kuda-kuda dan menyabetkannya ke kepala Ronggur. Ronggur melompat. Entah bagaimana kayu itu berhasil direbutnya. Lawannya menggeram seperti motor disel, merangsek maju. Kedua lengannya menjulur, berusaha mencapai tenggorokan Ronggur.
Orang itu lebih tinggi daripada Ronggur, tapi Ronggur lebih cepat. Dengan gesit ia membungkuk, kakinya mengayun setengah lingkaran, menyengkelit. Kena sedikit. Namun gravitasi dan kelembaman memihak pada Ronggur.
Sengkelitan Ronggur memutus serbuan membuta yang dilakukan sekuat tenaga oleh lawannya, sehingga lawannya kehilangan keseimbangan. Ia terhuyung. Ronggur bergerak cepat ke belakangnya, dengan sikutnya dihantamnya punggung orang itu. Sekali, dua kali, barulah si penyerbu tersungkur.
Ronggur melompat, menduduki punggung lawannya, dua jari tangan kanan menekan titik di antara kepala dan tengkuk, tangan kiri menelikung lengan lawannya ke belakang. Dikuncinya dengan cara menekuk jari-jari orang itu dengan kuncian jiu jitsu.
“Kenapa pula kau ini, kawan,” kata Ronggur, sementara lawannya menggeram dan menggeliat, berusaha melawan melepaskan diri. Tapi kuncian Ronggur efektif. Setiap kali orang itu melawan, rasa nyeri menyengat, memaksanya untuk kembali menelungkup.
“Berbaring sajalah. Jangan melawan. Jadi takkan terasa terlalu sakit,” ujar Ronggur lagi. Orang yang didudukinya tak menggubris. Tetap berusaha melawan. Hasilnya, rasa sakit di lengan dan tengkuknya membuatnya meraung-raung.
“Hei! Apa-apaan ini!? Lepaskan Dang Surya!!” pekikan seseorang membuat Nada menoleh. Di ambang pintu ruangan yang terbuka lebar berdiri perempuan tua yang dulu membawa suguhan untuk Nada dan teman-teman.
Perempuan itu menyerbu ke depan, dicengkeramnya kemeja Ronggur dengan jemarinya yang keriput. Ditarik-tariknya, berusaha membebaskan orang yang tergeletak di lantai itu dari himpitan Ronggur.
Tentu saja percuma. Tinggi Ronggur 178 sentimeter dan terlatih dua belas tahun lebih dalam ilmu bela diri. Perempuan tua itu kecil mungil, tingginya hanya sedagu Nada. Selain sudah sepuh, ia juga mengenakan daster batik panjang yang menyulitkan gerak geriknya.
“Bu, stop. Nanti Ibu malah jatuh,” Nada menghampiri, berusaha membujuk. Namun perempuan tua itu tak mau menyerah.
“Bangun kamu! Banguuun! Jangan nyiksa Dang Surya!” teriaknya, merenggut-renggut baju Ronggur. Disusul repetan sangat cepat dalam bahasa Sunda. Lalu ia mulai menjerit memanggil seseorang. “Gaaaaan! Gan Enuuuung!! Gan Enuuuuung!”
“Bang, sudahlah, lepaskan dia,” kata Nada pada Ronggur.
“Asal dia nggak membabi buta menyerang lagi, aku sih oke,” sahut Ronggur.
“Aku—“ Nada hendak bicara, tapi dalam waktu singkat antara kalimat Nada yang pertama dan jawaban Ronggur, Tante Hanum tiba. Langsung menjerit seperti gajah yang marah, memungut patahan kayu yang tadi dibuang Ronggur, lalu menyerbu. Namun sebelum wanita itu sempat menghantam kepalanya menggunakan tongkat tadi, Ronggur sudah keburu meloncat, meninggalkan orang yang dihimpitnya sedari tadi, tergolek lemas di lantai.
Tante Hanum melolong, memburu orang yang tergeletak itu dan meraupnya ke dalam pelukannya. Hal yang sama dilakukan oleh si perempuan tua, yang menangis sesenggukan seraya membelai-belai punggung orang itu.
…
Baca Juga: I’m Still Here — Chapter 18
Tante Hanum memeluk kuat-kuat lelaki pucat pasi, jangkung ceking berkepala licin tadi. Diciuminya selebar wajah dan kepala lelaki itu, membuainya dalam pelukannya, seperti menghibur anak-anak yang terjatuh dari sepeda.
“Sayang Mama,” suara Tante Hanum halus. “Apa yang sakit nak…. Kamu nggak apa-apa….?”
Nada terpaku memandangi adegan di depannya. Tangan lelaki botak itu, yang mencengkeram lengan baju Tante Hanum, berkuku panjang. Sisa-sisa cat biru dan hijau melekat di sana. Nada melirik kanvas yang hancur tadi. Sketsa lukisan di kanvas itu menggunakan cat biru dan hijau. Sebentuk gambar mata tunggal nampak di sudutnya.
Nada memutar pandang. Mata itu ada di semua lukisan yang sudah selesai. Ditatapnya lagi lelaki dalam pelukan Tante Hanum. Ia hanya mengenakan sehelai celana komprang setentang lutut, tanpa kemeja. Lelaki itu jangkung, dan kurus tubuhnya membuatnya nampak lebih jangkung lagi. Nada teringat bau aneh yang menyertai kehadiran makhluk yang dilihatnya di paviliun. Ia tersadar kini, itu bau cat minyak.
Tante Hanum sedang mendelik menatap Ronggur.
“Kamu siapa? Kenapa kamu ada di studio Surya??” bentaknya. “Kenapa kamu menyiksa anakku?!”
“Ini studionya? Maaf, kalau saya mengganggu. Tapi masalahnya tadi putra Tante masuk ke paviliun tempat tunangan saya tinggal. Dari cerita tunangan saya, nampaknya putra Tante sudah cukup lama diam-diam masuk paviliun dan membuat dia dan teman-temannya ketakutan,” ujar Ronggur santai. Ia mengedangkan tangan ke seputar kanvas-kanvas yang bertebaran di seluas ruangan. “Kalau dilihat dari lukisan-lukisan putra Tante, nampaknya dia sangat…. menyukai tunangan saya, ya?”
“Tunangan kamu??”
“Ya, Tante. Ini Ronggur, tunangan saya,” Nada maju. Menggapai tangan Ronggur. Merasa aneh dan agak geli karena memperkenalkan Ronggur secara formal di tengah suasana aneh bin ajaib ini.
Tante Hanum terdiam sejenak. Lalu api kembali menyala di matanya.
“Kalian nggak berhak masuk kemari dan menganiaya anakku,” katanya.
“Mm—saya hanya sekedar mengikuti orang yang masuk tanpa izin ke paviliun yang ditempati Nada,” kata Ronggur. “Lalu saya tiba-tiba diserang. Jadi otomatis saya membela diri.”
“Pinter ngomong kamu ya,” geram Tante Hanum. Saat itu lelaki yang didekapnya mengerang. Perhatian Tante Hanum langsung beralih. “ Kenapa Nak…? Apa yang terasa?”
Nada merasa canggung. Laki-laki dalam pelukan Tante Hanum adalah seorang dewasa. Kakinya yang terlipat tidak menjadikannya lebih mungil. Walau meringkuk, tubuh lelaki itu tetap jauh lebih besar daripada perempuan baya yang memeluknya. Dan perempuan itu bicara seolah pada bayi.
“Ia…. sakitkah? Sakit apa?” Nada ragu-ragu bertanya. Kulit lelaki itu begitu pucat. Sesekali, bila ia mengangkat muka, Nada bisa melihat rongga matanya yang amat cekung dan tatapannya yang melesat-lesat. Mendengar pertanyaan Nada, Tante Hanum mendelik.
“Nggak. Dia nggak sakit,” bentaknya ketus. “Surya-ku nggak sakit. Dia hanya… agak letih.” Diusap-usapnya pipi putranya. “Kalau sudah istirahat, dia akan biasa lagi. Dia nggak sakit.”
Terdengar seseorang menghela nafas panjang. Nada dan Ronggur serempak menoleh. Perempuan tua mungil yang tadi mencoba melawan Ronggur, membalas tatapan mereka dengan mata putus asa.
“Lebih baik kita bawa Dang Surya ke kamarnya, Gan,” kata perempuan tua itu. Kepalanya menoleh pada Tante Hanum, ia bicara dalam bahasa Indonesia. “Akan saya siapkan obatnya.”
“Nggak usah!” bentak Tante Hanum. “Ceu Pupung kembali tidur saja, biar aku yang temani Surya. Surya bisa tanpa obat-obatan itu.”
“Gan Enung tahu betul bahwa obat itu bisa menenangkannya sedikit. Supaya dia bisa tidur. Kasihan dia.”
“Tidak!”
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )
One thought on “I’m Still Here — Chapter 19”