Malam itu, selesai makan nasi bungkus Nada menyiapkan kasur di ruang tengah. Disiapkannya juga bantal dan selimut.
“Nggak usah pakai selimut Nis,” kata Ronggur, memperhatikan kesibukan Nada.
“Kalau menjelang subuh di sini dingin sekali Bang.”
“Nggak apa-apa. Aku bawa sarung.” Ronggur membuka laptopnya. “Lagipula aku nggak akan tidur. Ada yang mau kukerjakan.”
“Mmm,” gumam Nada. “Mau kusiapkan kopi?”
“Wah, tawaran menarik tuh,” kata Ronggur. “Yang kental, ya. Kamu masih punya keripik bawangnya Bunda?”
“Aman tuu,” Nada tersenyum. Tak lama bau harum kopi menguar dari dapur, menyebar hingga ruang tengah. Ronggur menarik nafas dalam-dalam, menikmati harum yang memudakan otak itu. Nada muncul, membawa mug kopi untuk Ronggur di atas sebentuk kotak kayu, bersama stoples keripik bawang. Piring kecil berisi roti bakar yang sorenya dibeli juga ikut dibawa. Kotak kayu itu sendiri adalah tutup peti barang-barang Nada.
“Wataaw. Unik banget bakinya,” Ronggur ketawa.
“Ini lagi trend lho,” Nada ketawa juga. Berdua mereka duduk mengobrol, di sela-sela Ronggur bekerja dan Nada mencorat-coret, membuat sketsa profil wajah Ronggur. Walau pun hatinya jauh lebih tenang karena ada Ronggur di sisinya, Nada tak bisa mengenyahkan perasaan bahwa mereka tengah diawasi sesuatu. Paviliun yang kini sunyi itu seperti sedang menunggu dan mendengar-dengarkan setiap gerak gerik mereka.
“Aku tidur di sini aja ya Bang,” kata Nada setelah capek menggambar. Ia bersiap-siap hendak membaringkan diri ke karpet ketika Ronggur mengulurkan lengan, menghalanginya.
“Jangan. Kamu di kamar saja.”
“Kenapa? Aku nggak ngabisin tempat kok.”
“Nggak boleh. Masuklah.”
“Kenapa sih? Aku nggak akan nakal….”
“Kamu memang nggak,” Ronggur meringis, menatap Nada lekat-lekat. “Tapi aku nggak dijamin.”
Nada tertawa. Pipinya memerah.
“Yadeh…yadeh, aku di dalam,” katanya. “Pintu kamar aku buka aja ya Bang.”
“Tutup aja.”
“Nggak usahlah… aku takut sendirian.”
“Nis, aku punya kaki dan bisa jalan.” Kata Ronggur. “Kamu takut sendirian, aku lebih takut kalau kita sendiriannya berdua, di dalam kamar sana. Tutup pintunya.”
Nada tertawa.
“Abang apaan sih,” katanya. “Oke deh. Aku tidur ya Bang.”
“Selamat tidur.”
Di ranjangnya, Nada masih membaca-baca sejenak. Rasanya ia baru membaca sebentar—padahal sesungguhnya berjam-jam sudah berlalu—ketika Ronggur berteriak.
Nada tersentak. Agak linglung duduk di pembaringannya, melihat jam Doraemon. Setengah tiga pagi. Suara Ronggur terdengar marah, sekaligus seperti agak heran: “Hoi! Kepala otak kau! Apa-apaan—“
Nada buru-buru turun ranjang, lari membuka pintu kamar.
“Bang—“ Nada tertegun. Ronggur berdiri di hadapan rak buku besar di ruang tengah, membelakangi Nada. Tiga ambalan paling bawah sebelah kiri rak buku itu terdorong membuka, memperlihatkan sebuah celah yang dapat dimasuki orang dewasa.
“Ada apa Bang?” hati-hati Nada mendekat, matanya tak lepas dari lubang di belakang rak. Ronggur menoleh.
“Ada orang masuk dari sini tadi,” Ronggur menunjuk. “Sepertinya dia itulah hantu kalian. Dia masuk paviliun lewat jalan ini, lalu mengetuk pintu kamarmu, mengambil barang, menakut-nakuti kalian semua.” Langkah Ronggur mantap, sebelum Nada sempat bicara apa pun lelaki itu berjongkok, lalu memasuki lubang tadi.
“Wah. Ada birai di sini,” terdengar suaranya, teredam secara aneh. Nada buru-buru mendekat. Membungkuk memasukkan kepala ke celah. Segera ia tercengang: di balik situ ada ruangan selebar kira-kira enam puluh senti. Panjangnya semeter lebih sedikit. Di ujung kiri, dekat tempat Nada berdiri, ada sebuah birai beton. Tidak besar, tapi cukup untuk satu orang berdiri. Dari situ tampak serangkaian anak tangga kayu menurun, menghilang dalam lubang gelap di tanah.
Ronggur sudah menuruni tangga itu, menyalakan senter di teleponnya.
“Bang aku ikut—“ ketakutan, Nada buru-buru menyusul.
Tangga yang dituruninya agak goyah di satu-dua tempat, namun selebihnya cukup kokoh. Setelah melewati sekitar selusin anak tangga, ia dan Ronggur tiba di semacam lorong. Dinding dan langit-langit lorong itu diperkuat dengan struktur balok tebal yang nampak tua. Lantainya tanah.
“Sepertinya ini bekas lubang perlindungan dari jaman perang dunia,” kata Ronggur, menyorotkan senternya berkeliling. “Atau mungkin bahkan dibangun bersamaan dengan pembangunan rumah.”
Baca Juga: I’m Still Here — Chapter 17
“Seram,” bisik Nada, secara naluriah merapat pada punggung Ronggur.
“Nggak apa-apa. Balok-balok ini masih kuat, nggak akan runtuh tiba-tiba,” kata Ronggur. Bukan itu yang dimaksud Nada dengan kata seram. Tapi ia tak membantah. Diikutinya saja Ronggur berjalan lagi.
Nampaknya lorong itu digali di samping pondasi rumah yang berbatasan dengan paviliun. Dilihat dari bentuknya yang memanjang terus ke belakang, agaknya rutenya melintas tepat di bawah rumah induk.
Setelah sesaat, lorong melebar. Keduanya tiba di semacam bilik seluas dua belas meter persegi yang dinding, lantai dan langit-langitnya terbuat dari beton tebal.
“Betul, ini lubang perlindungan dari bom,” ujar Ronggur. “Jaman itu—“
Mendadak Nada menyambar lengannya.
“Bang—itu…!” tangan Nada teracung. Ronggur menyorotkan senternya ke arah yang ditunjuk Nada.
Di lantai menggeletak dua jerangkong manusia. Yang satu mengenakan kaos sport dan celana selutut. Satunya kaos oblong dan celana pendek. Warna biru kaos sport itu masih bisa dikenali, juga merah jambu terang celana pendek. Sisa rambut panjang yang menempel di tengkorak kerangka yang mengenakan celana itu memantik dugaan bahwa kerangka itu berjenis kelamin perempuan.
Posisi kerangka itu menelungkup, setengah menutupi kerangka satunya, yang telentang dengan sebelah lengan terentang. Warna belulang yang sudah kecoklatan dan pakaian yang cabik menunjukkan bahwa kedua kerangka itu telah lama berada di sana.
Lantai beton tempat kedua kerangka itu menggeletak warnanya lebih gelap daripada bagian lantai selebihnya. Di sudut sana terhantar sebuah balok kayu tebal dan sebuah pipa besi. Balok dan pipa itu juga menampakkan noda-noda gelap pada permukaannya.
“Ayo pergi Bang,” Nada gemetar. “Aku nggak suka di sini.”
Tanpa berkata apa-apa Ronggur melanjutkan melangkah. Maju.
“Bang, kok ke sana,” Nada panik. “Kenapa nggak balik ke paviliun…. Lorong ini gelap banget, aku takut….”
“Aku harus tahu orang yang tadi itu lari ke mana,” kata Ronggur lugas. “Kalau kau mau, kau tunggulah di paviliun. Tapi aku mau terus.”
Nada terdiam.
Dari kamar jerangkong tadi, ada lorong ke kiri. Di sana ada tangga naik, yang berujung pada birai serupa dengan yang ada di balik rak buku. Ronggur naik ke situ. Di dinding sebelah kiri birai ada semacam papan tipis yang bisa ditarik. Kalau papan itu ditarik, akan muncul dua lubang kecil di dinding. Lubang itu pas setinggi mata manusia.
“Ini lubang pengintai rupanya,” kata Ronggur.
“Aku mau lihat,” ujar Nada. Ia maju, dicobanya merapatkan mata di kedua lubang di dinding. Di balik sana dilihatnya sebuah pintu ganda, lukisan-lukisan, cermin dengan bingkai berukir dan meja-meja konsul.
“Ini ruang depan De Zonnen,” Nada takjub. Tiba-tiba menyadari, lubang apa yang digunakannya mengintai tadi. “Kita ada di belakang lukisan gadis di atas tangga! Lubang-lubang ini ada di bagian mata lukisan itu!” katanya.
“Hmm. Klasik…” komentar Ronggur, menuruni tangga birai, kembali masuk ke lorong.
Lorong itu masih memanjang. Ronggur melanjutkan menyusurinya, diikuti Nada rapat di belakang. Akhirnya mereka sampai di ujung lorong itu. Di sana ada anak tangga lagi, ke atas. Sebuah birai sempit, dan sebuah pintu yang tertutup.
“Ini berakhir di mana ya,” kata Ronggur, mulai naik. Nada menghitung ada tujuh belas anak tangga sebelum mereka mencapai birai. Papan kayu di ambang pintu di depan mereka tak memiliki pegangan. Ronggur mencoba mendorongnya. Tak bergerak. Dicobanya menggeser ke kiri. Masih tak bergerak.
Kemudian dicoba menggeser ke kanan. Papan itu meluncur dengan suara berdesir nyaring, menampakkan lubang ambang. Bau cat dan terpentin meruap keras dari ambang itu. Ternyata sebuah lemari besar. Nada bisa melihat tumpukan kaleng dan tube cat, gulungan kain-kain gombal dan jeriken. Juga kaleng-kaleng bekas berisi berbagai kuas besar dan kecil.
Ini lemari seorang seniman, pikir Nada. Siapa?
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )
One thought on “I’m Still Here — Chapter 18”