Nada bergegas ke kamar, mencoba untuk tak berpikir tentang sosok pucat yang dilihatnya di atap teras. Menyibukkan diri dengan mengambil handuk dan piyama, Nada meyakinkan dirinya sendiri bahwa sosok itu hanyalah bayangan, permainan bulan belaka. Mungkin karena ia terlalu capek, jadi mengkhayalkan yang sesungguhnya tak ada. Mandi air panas pasti akan membuatnya tenang.
Menjerang air, menyeduh teh dan membuat ramen selama menunggu air mandinya menghangat mulai mengembalikan keseimbangan Nada.
Dibawanya teh dan mangkuk mi ke kamar. Radio dinyalakan, sengaja memilih yang tengah menayangkan acara obrolan tengah malam. Sebab pada malam hari saat sendirian di rumah, Nada selalu sangat butuh mendengar suara manusia lain. Suara dari radio pun jadi.
Lalu Nada kembali ke dapur mengambil cerek. Ocehan penyiar radio menanggapi curcol seorang penelepon sangat membantu menenangkannya. Keluar kamar mandi sepuluh menit kemudian, rambut terbungkus handuk dan disegarkan harumnya sabun, akhirnya Nada merasa damai. Diperiksanya ponsel di atas meja dekat pembaringan. Ternyata Ronggur menelepon beberapa menit lewat. Pasti ia akan menelepon lagi.
Benar. Nada sedang menyuap segarpu penuh mi ketika ponsel berbunyi. Suara Ronggur mengantuk:
“Ke mana kamu tadi, Nis? Kutelfon tak diangkat.”
“Mandi,” sahut Nada cerah.
“Hah! Mandi? Malam begini?”
“Biar mimpi indah,” Nada nyengir sendiri. Ronggur mendengus.
Mereka bercakap-cakap sebentar. Ronggur menanyakan pendapat Nada tentang tawaran dosennya di Utrecht: turut dalam ekspedisi ke gunung berapi Hekla, Islandia, selama dua bulan meneliti kegiatan vulkanis di sana.
“Kalau aku ikut, aku akan diberi dispensasi, perpanjangan waktu sedikit, untuk menulis disertasi,” kata Ronggur semangat.
Sejenak Nada ragu. Setahu dia, Hekla adalah gunung berapi yang sangat aktif. Letusan terakhir tercatat terjadi tahun 2000. Nada tidak kepingin mendengar berita pacarnya terjebak di situ, di tengah berondongan bom-bom vulkanis dan lelehan lahar. Tapi dari cara Ronggur membicarakannya, Nada paham bahwa ini adalah penelitian idaman bagi pemuda itu. Sebab seberapa sering, sih, orang punya kesempatan menjejakkan kaki di gunung yang berjulukan Gerbang Neraka itu?
Sekitar lima menit Nada berusaha menggali sebanyak mungkin fakta tentang ekspedisi itu. Tapi agak sulit menyamakan persepsi hanya lewat telepon. Akhirnya keduanya memutuskan bahwa telepon tidak cukup untuk membicarakan hal seperti ini. Setelah berjanji untuk bertemu lagi selesai kuliah besok, mereka saling mengucap selamat malam. Nada mematikan lampu. Membanting diri ke kasur dan meregangkan badan.
“Ahh. Sekarang…tidur!” gumamnya sendiri. Menit berikutnya ia sudah terlelap. Namun, sekitar satu jam kemudian matanya mendadak terbuka lagi. Nada berbaring dalam gelap, mendengar-dengarkan. Ia tak tahu apa yang telah membuatnya terbangun.
Saat itu sekitar pukul dua pagi. Cahaya pucat masuk lewat tirai jendela. Melemparkan bentuk segi empat samar ke dinding. Malam sepi. Bahkan jangkrik tidak berbunyi. Untuk sesaat Nada seperti mendengar derum mobil, jauh sekali, di jalan besar di depan kompleks rukan. Lalu mendadak darah Nada tersirap. Seluruh badannya merinding, dingin seperti diguyur air es. Ada seseorang—atau sesuatu—menjerit.
Jeritan itu dimulai dengan geraman dalam. Geraman yang disertai bunyi geletar mengerikan. Jeritan itu semakin lama semakin tinggi, semakin melengking, seakan menyuarakan panggilan dari kubur dan derita makhluk tersiksa. Lalu mendadak saja jeritan itu berhenti. Begitu saja, tanpa aba-aba. Seolah-olah si empunya tenggorokan sekonyong-konyong kehilangan kemampuannya untuk bersuara.
Suara itu sepertinya datang dari luar. Dari teras rumah induk. Tempat konon pengusaha Belanda pemilik rumah ini ditemukan tergeletak di tengah belatung dalam kolam darah yang sudah mengering.
Mata Nada nyalang kini. Tik-tak jam weker di atas pesawat teve menghitung detik yang lewat. Nada menunggu. Mendengar-dengarkan. Sepuluh, dua puluh menit.
Perlahan suara-suara malam kembali terdengar. Cengkerik menyanyi, di pohon kihujan seekor burung malam berdekut. Jeritan tadi tak berulang.
Nada tak berniat tidur lagi, tapi sayangnya ia terlalu letih. Matanya mulai memberat. Nada tertidur, tak tahu lagi apa yang terjadi kemudian.
…
Baca Juga: I’m Still Here — Chapter 5
Sepanjang siang di kantor konsultan tempatnya bekerja selepas kuliah, pikiran Nada terpaut pada jeritan.
Ia tak percaya hantu, tapi ia yakin betul bahwa semalam ia mendengar suara jeritan. Ia juga yakin bahwa itu bukan suara binatang. Kini Nada menyesal kenapa malam tadi ia tak bangkit dari tempat tidur dan mengintip keluar. Dari jendela kamarnya ia bisa melihat menyerong, ke arah teras rumah induk. Kalau saja ia bangkit mengintai, barangkali ia bisa melihat sesuatu, yang mungkin dapat menjadi penjelasan logis dari jeritan semalam.
Tak mungkin hantu menjerit, pikir Nada berkali-kali. Untuk menjerit, apalagi sekeras itu, diperlukan paru-paru, tenggorokan, lidah, rongga mulut, bibir. Hantu tak memiliki itu semua. Tapi jelas semalam ada yang menjerit. Jadi siapa…atau apa yang menjerit itu?
Sepanjang pagi Nada mencoba berkonsentrasi pada denah yang tengah dikerjakan. Tapi pikirannya selalu kembali pada suara jeritan semalam. Akhirnya menjelang saat makan siang ia menyerah. Nada tahu ia harus menyelidiki hal ini. Kalau tidak, dia pasti akan penasaran terus. Dan seluruh pekerjaannya pasti akan terganggu.
Nada mendengus, mendorong kursi menjauhi meja gambar. Duduk di hadapan komputer di sudut ruang kerja. Diketiknya beberapa entry, mencari dengan mesin perambah.
Entry “screaming ghost”, hantu menjerit, langsung memunculkan gambar menyeramkan sosok-sosok putih dengan mulut seperti tengah memekik. Namun informasi yang diberikan tidak relevan dengan yang Nada cari. Nada mencoba lagi. Kali ini diketiknya kalimat “can ghost scream”. Bisakah hantu menjerit.
Hasil teratas judulnya “Common Ghost Noises”. Suara-suara yang umum dihasilkan hantu.
Nada mengeklik. Artikel itu menyebutkan beberapa suara yang umum diidentikkan dengan kehadiran hantu. Ketukan, suara langkah…. Bukan.
Artikel berikutnya terasa lebih relevan. “Screaming spirits”. Arwah yang menjerit. Nah!
Ternyata tentang sebuah bar di negara bagian New Mexico, Amerika Serikat. Pelanggan yang tengah duduk menikmati minuman dikabarkan mendengar suara jeritan perempuan dari dapur.
“Pas diperiksa, pasti nggak ada apa-apa,” gumam Nada menebak, membaca terus. Ia tak keliru. Artikel itu menyebutkan bahwa ketika diperiksa, di dapur bar itu tak ada siapa-siapa. Selanjutnya isi artikel membahas macam-macam fenomena yang terjadi di bar itu. Nggak, pikir Nada. Bukan yang kucari.
Ia mencoba lagi. Yang diketiknya “noisy ghost”. Hantu berisik.
Yang muncul adalah keterangan tentang poltergeist.
“Poltergeist…. German for “noisy ghost” or “noisy spirit”… is a type of ghost or spirit that is responsible for physical disturbances, such as loud noises and objects being moved or destroyed….” istilah Jerman untuk menyebut “hantu atau arwah yang berisik”. Sejenis hantu atau arwah yang dapat menimbulkan gangguan fisik, misalnya suara-suara keras dan dapat menggerakkan atau bahkan menghancurkan barang-barang.
Wow, batin Nada. Apakah…. Mungkinkah ada poltergeist di De Zonnen?
Nada kaget ketika ponselnya berbunyi. Diusapnya wajahnya. Definisi poltergeist yang dibacanya tadi agak mengguncangkannya.
Setelah menarik nafas panjang, baru dijawabnya panggilan telepon itu. Ronggur. Mengajaknya makan.
Ajakan itu langsung mengembalikan semangat Nada. Disambarnya dompet, lari menuruni tangga studio, keluar kantor. Seperti yang dijanjikan, setelah lima menit sosok jangkung Ronggur muncul di ambang jalan masuk.
Berewoknya belum dicukur, dan dengan rambut diekor kuda pemuda itu nampak seperti Thor si Dewa Petir. Agaknya bukan kebetulan bahwa nama Ronggur memang berarti petir dalam bahasa Batak. Tapi kalau ia tengah mengenakan seragam klub jiu jitsunya, ia hampir seperti samurai dari masa Edo, pikir Nada saat menyongsong Ronggur. Tersenyum sendiri karena mendadak menyadari apa yang membuatnya kesengsem pada lelaki ini.
“Haaai…. Mana Mjolnir?” sapa Nada cerah. Menyebut palu godam raksasa yang menurut mitologi Viking adalah senjata Thor. Ronggur meringis.
“Aku pinjamkan ke pemecah batu di Krueng Batee,” katanya. Nada tertawa.
Krueng Batee adalah sebatang sungai di tanah kelahirannya di Aceh Barat Daya. Sungai yang indah itu terkenal karena menghasilkan koral bundar putih penghias taman. Desa di sepanjang sungai itu penuh perempuan-perempuan perkasa yang memecah batu sungai sebagai mata pencaharian. Saat mengantar Nada pulang kampung libur semester lalu, Ronggur diajak beberapa sepupu Nada berenang ke sana. Pulangnya mereka membawa dua ikan kerling¹ besar. Ibu Nada senang sekali mendapat ikan itu. Ikan kerling sangat enak untuk digulai. Saking enaknya, orang Aceh bahkan menyebutnya “Peunajoh Raja” alias suguhan santapan raja-raja.
“Kita makan di Qualcosa di Dolce, yuk,” ajak Ronggur. Terselip di antara kedai yogurt legendaris yang umurnya sudah puluhan tahun dan taman dekat Kantor Gubernur, Qualcosa di Dolce menjual gelato, sfogliatelle dan beberapa hidangan laut spesifik Napoli. Selada udang, misalnya.
Nada gemar selada udang dan dia heran campur senang, Ronggur memilih tempat itu. Soalnya, biasanya si pemuda lebih memilih makan di warung kapau kaki lima. Lebih berbumbu, alasannya. Tapi ternyata ia punya rencana yang lebih besar dengan memilih restoran itu: mata Nada nyaris terpelanting dari ceruknya ketika melihat gulungan-gulungan jala coklat di mangkok gelatonya ternyata diikat dengan sebentuk cincin. Mata berliannya menyala galak. Dan di hadapannya Ronggur meringis harap-harap cemas— “Kawin yuk,” katanya. “Aku janji, nanti cincinnya kuganti yang lebih bagus.”
Senyum Nada pecah berseri-seri. Cincin diambil dan dikenakan.
“Ayo,” katanya, tertawa lembut membalas tatapan hangat Ronggur. “Kapan?”
Setengah jam berikutnya mereka membicarakan soal-soal teknis: kapan orangtua Ronggur akan ke Blangpidie, kapan Nada akan ke Padangsidempuan, mas kawin dan pakaian adat yang akan dikenakan. Semua percakapan itu membuat Nada begitu bahagia sehingga serasa akan meledak. Ia yakin ia sangat menyintai Ronggur.
¹ Ikan mahseer Tor douronensis. Di sebagian daerah Sumatera ikan ini disebut juga Ikan Dewa. Di Pasundan dipanggil “kancra”
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )