Masih mengenang kisah kasih di pesantren. Ada sebuah kisah berbau horor yang saya alami pada suatu malam ketika mules datang.
Entah sudah pukul berapa ketika gemuruh di perut membuat saya terbangun.
Mulanya mencoba menahan dan memejamkan lagi mata dan berharap gejolak cinta itu hilang. Tetapi tak bisa. Usus-usus di perut makin kuat saja meronta.
Akhirnya saya pun bangun dan bergegas mencari bala bantuan.
Asrama santriwati terletak di lantai dua. Jadi kalau kebelet berak tengah malam, tidak boleh last minute nyari toilet karena butuh persiapan panjang untuk ritual itu.
Persiapan pertama, membangunkan teman yang sudi menemani ke toilet.
Toilet untuk santriwati menyatu bersama kamar mandi yang ukurannya sangat luas. Kalau malam pencahayaannya remang-remang karena sebagian lampu dimatikan. Agak mirip-mirip scene film-film horor.
Usaha membangunkan teman__lebih tepatnya memilih mana teman yang dibangunkan__susah-susah gampang.
Apalagi kalau yang dibangunkan adalah orang yang tidak pernah kamu temani ke kamar mandi sebelumnya. Dijamin Ybs (yang bersangkutan) pasti nggak mau.
Di sini berlaku hubungan mutualistik simbiosis.
Sebenarnya ada wali kamar yang bisa diajak untuk urusan begituan. Tetapi ini hanya terjadi bila mood beliau sedang hijau. Lebih sering merah sih, hihihi.
Jadi, daripada di PHP-in, mending nggak usah dibangunin. Ketimbang terjadi hubungan simbiosis paratisme di sini, kan tak elok.
Namun, tak ada satu pun teman yang mau bangun menemani saya ke toilet. Padahal, sebagai ketua kamar, saya termasuk orang yang sering menemani santriwati lain ke toilet saat tengah malam.
Sungguh sanger yang dibalas tuba. Apes benar saya malam itu. Sudahlah pedih berjuang menahan getaran-getaran di perut, yang dibangunkan pasang tampang seram seperti sedang bermimpi dikejar T-Rex.
Tuh, kan, karena lama di proses membangunkan, perut saya makin tak karuan. Ketimbang “meledak” di antara mimpi-mimpi buruk para santriwati, saya putuskan ke toilet sendiri saja.
Keputusan yang kilat di tengah situasi gawat membuat saya berani. Ember, gayung, dan sabun saya gotong sambil sedikit berlari dari kenyataan. Saya ingin semua kepedihan ini cepat berlalu.
Anehnya, setelah turun tangga dan tiba di lorong yang mengarah ke toilet, cerita dari teman-teman yang sering mendengar suara orang berlari di sekitar situ, mendadak muncul di kepala.
Seketika bulu kuduk merinding.
Tapi sudah setengah jalan, nih. Mau balik, tanggung. Lagi pula, mungkin saja yang mereka dengarkan itu bunyi langkah-langkah orang yang berlari karena kebelet ke toilet seperti saya.
Ah, lebay mereka …
Saya buru-buru mengisi air dalam ember sesampainya di kamar mandi. Lalu mencari toilet yang bersih. Alhamdulillah, kebetulan ada, karena sore tadi baru selesai gotong royong membersihkan kamar mandi.
Pernah di lain hari kami menemukan toilet yang masih ‘berisi’ karena tidak diselesaikan secara tuntas oleh oknum tertentu. Entah karena mampet atau kelupaan bawa ember.
Saya tidak ingin mengingat lagi saat-saat menuntaskan apa yang menyebabkan sakit perut. Yang terpenting, berusaha tertib, bersih, dan tidak menyisakan sesuatu.
Setelah tuntas, jiwa saya terasa plong. Tapi bulu kuduk masih merinding. Saya merasa ‘ditemani’ oleh ‘seseorang’ yang tidak saya minta.
Buru-buru saya berlari ke luar kamar mandi menuju kamar secepatnya. Di lorong, saya menguatkan diri kalau saya ini berani dan tidak mau melihat apapun.
Walaupun sudah selow, saya tetap panik. Dua anak tangga saya naiki sekaligus agar cepat tiba di kamar.
Begitu tiba di kamar rasanya lega sekali. Masih merinding memang tapi levelnya sudah turun, dari merinding disko ke merinding dangdut.
Daripada tersugesti dan melihat sesuatu yang tidak ingin saya lihat, langsung saja tarik selimut menutup seluruh badan. Setelah itu, saya pun tertidur nyenyak tanpa bermimpi dikejar-kejar T-Rex.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )