PAGI telah lama menjadi sesuatu yang mahal. Menikmati pagi telah menjadi kegiatan yang susah dilakukan bagi sebagian orang. Terbangun kala pagi, merasakan kulit digigit matahari bervitamin D, sulit dialami bagi orang-orang yang lebih banyak hidup saat malam.
Dulu, kita kerap heran ketika menyaksikan sepasang burung hantu bertengger di ranting pohon saat malam. Ada yang bilang, mereka itu tak pernah tidur, cuma keluar saat malam. Benar tidaknya, burung hantu itu tak pernah berkata iya dan apa alasannya mereka tak bisa tidur. Imsomniakah?
Kini, ada orang yang keheranan ketika melihat kita tak tertidur malam. Kita tak bisa menjawab pertanyaan kenapa tak tidur dengan jawaban: aku insomnia. Belajarlah dari burung hantu, mereka tak pernah mau menjawabnya.
Hidup di waktu malam dilakukan sebagian orang bukan karena terpaksa. Lebih banyak faktornya karena sukarela. Rela membiarkan mata ternganga pada sesuatu, entah itu layar laptop, televisi, atau komputer.
Ketika di sepertiga malam orang-orang konvensional terlelap, sebagian orang yang anti-mainstream ini terjaga untuk berbuat sesuatu. Sesuatu yang bagi orang-orang konvensional adalah hal di luar kelaziman, habit yang hanya mendatangkan bala.
Ketika selepas subuh orang-orang anti-mainstream ini merebahkan tubuhnya yang menjerit meminta ditidurkan, orang-orang konvensional berbaris di jalanan menuju masa depan. Mereka berdesak-desakan di lampu merah, gugup jika telat masuk kantor. Apa yang mereka cari? Ah, itu tak terlalu penting bagi orang-orang anti-mainstream yang telah mengubah jam sarapan ke tengah hari atau petang.
Yang pasti, selepas sarapan merangkap makan siang itu, orang-orang anti-mainstream akan terjaga lagi untuk seterusnya. Mereka mencoba menggapai masa depan ketika setengah isi dunia tenggelam dalam mimpi. Dan mereka tak perlu berdesak-desakan di lampu merah.
Diperbarui pada ( 2 Maret 2022 )