~ Terindikasi akan memakai militer untuk mengintervensi pemilu
Tahun telah berganti ketika paduka yang mulia Donald Trump tetap ogah mundur dari jabatannya.
Situasi ini memaksa 10 mantan menteri pertahanan Amerika Serikat turun tangan untuk memperingatkan satu-satunya “presiden aneh” yang pernah dimiliki Paman Sam tersebut.
Apalagi, bacot Trump telah mengarah kepada upaya menimbulkan krisis dengan tujuan memicu intervensi militer terkait sengketa pemilu.
Maka, para Menhan itu pun bereaksi. Dan yang terjadi adalah sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Kesepuluh mantan Menhan itu kompak menulis surat cinta kepada Donald Trump (yang ogah mundur itu) memberitahu kekhawatiran mereka.
Para bekas menteri itu meminta presiden dan para pendukungnya menerima kekalahan tersebut.
Dalam surat bersama yang diterbitkan di Washington Post, mereka membahas ketakutan terburuk dalam 17 hari pemerintahan Trump yang tersisa, sebelum pelantikan Joe Biden.
“Upaya untuk melibatkan angkatan bersenjata AS dalam menyelesaikan sengketa pemilu akan membawa kita ke wilayah yang berbahaya, melanggar hukum, dan tidak konstitusional,” bunyi surat tersebut.
“Pejabat sipil dan militer yang mengarahkan atau melakukan tindakan tersebut akan bertanggung jawab, termasuk kemungkinan menghadapi hukuman pidana, atas konsekuensi berat dari tindakan mereka di republik kita.”
Sebagai mantan menteri pertahanan, sebut surat itu lagi, kami memiliki pandangan yang sama tentang kewajiban serius angkatan bersenjata AS dan Departemen Pertahanan.
“Masing-masing dari kita bersumpah untuk mendukung dan mempertahankan konstitusi dari semua musuh, baik asing maupun domestik. Kami tidak bersumpah kepada individu atau partai.
“Pemilu Amerika dan transfer kekuasaan secara damai yang dihasilkannya adalah ciri khas demokrasi kita.”
Bekas Menteri Trump
Dua bekas menteri yang ikut menulis surat itu, James Mattis dan Mark Esper, menjabat sebagai menteri pertahanan di pemerintahan Trump.
Juni tahun lalu, Esper secara terbuka membantah Trump. Dia bersikeras tidak ada alasan menerapkan Undang-Undang Pemberontakan. Beleid ini memungkinkan penempatan pasukan militer di jalan-jalan Amerika dalam keadaan ekstrim.
Delapan lainnya adalah Dick Cheney, sekretaris pertahanan semasa George HW Bush, dan wakil presiden untuk putranya, George W Bush. Lalu Donald Rumsfeld, sekretaris pertahanan semasa Bush junior.
Kemudian William Perry dan William Cohen, sekretaris pertahanan di pemerintahan Bill Clinton. Terakhir Leon Panetta, Chuck Hagel, dan Ashton Carter, yang bertugas di bawah Barack Obama; serta Robert Gates yang bertugas semasa Bush dan Obama.
Surat itu juga meminta sekretaris pertahanan saat ini, Christopher Miller dan para pejabatnya, melanjutkan kerja sama dengan tim transisi Biden. Sebelumnya, tim transisi Biden mengeluh Pentagon telah berhenti menjawab pertanyaan mereka.
Menurut mantan duta besar Amerika dan pejabat pertahanan Eric Edelman, asal mula surat itu setelah perbincangannya dengan Cheney. Mereka membahas tentang bagaimana militer dapat digunakan dalam beberapa hari mendatang.
Soalnya, pekan lalu sempat muncul kekhawatiran akan terjadi kerusuhan ketika selusin senator Partai Republik bersikukuh menolak kemenangan Joe Biden.
Dan di saat yang sama, Trump mendesak para pendukung sayap kanannya, terutama Proud Boys, untuk berkumpul di Washington dalam protes menentang hasil pemilu.
Belum jelas apa reaksi Trump terhadap surat itu. Maukah ia mundur teratur layaknya undur-undur?[]
Diperbarui pada ( 21 Maret 2024 )