~ Toilet semi portable memang tak ramah lingkungan
Satu kata buat toilet ini: romansa. Kenangan-kenangan yang dibangunnya tak tergantikan hingga kini. Soalnya, toilet model itu sudah hilang ditelan zaman. Pemerintah juga tak sudi memasukkannya ke dalam museum sekadar untuk melestarikan. Padahal, dari toilet tersebut kita bisa belajar banyak; belajar menjadi manusia susah. Atau, setidaknya mengaca bagaimana modernisasi dari barat datang mengunyah kita bulat-bulat menjadi ampas.
Jenis toilet ini semi portable jika enggan menyebutnya wc gantung. Dibangun di bantaran sungai dengan penutup mirip bilik tempat pemungutan suara. Dindingnya bisa papan atau bleut (anyaman kelapa). Beberapa di antaranya memiliki atap untuk melindungi pengguna dari panas dan hujan. Bagaimana rasanya BAB sembari diguyur hujan? Tentu tak enak.
Sebagai bocah kampung yang lahir delapan tahun sebelum Operation Red Net digelar di Aceh, toilet macam begitu, salah satu pilihan ketika hajat mesti dituntaskan. Opsi lain adalah toilet terbang yang lokasinya kadang resmi kadang tidak.
Lokasi wc terbang yang disebut resmi berada di tempat tertentu yang kerap menjadi “langganan” orang ramai. Yang tidak resmi, tergantung pada masing-masing diri. Asal jangan diketahui orang ketika ia sedang bertandas.
Namun, toilet portable tetap menjadi primadona di seantero kampung. Memilih toilet itu rasanya berkelas sedikit ketimbang yang terbang. Lihat, toilet pun punya kasta. Walaupun di kepala kami tak pernah terngiang bagaimana bentuk toilet jongkok. Konon lagi rupa toilet duduk, tahu pun tidak.
Toilet portable bertengger di pinggir sungai. Peran vitalnya sebagai tempat bergantung hajat orang banyak tak bisa ia emban sendiri. Ia butuh sungai sebagai penampung kotoran. Sungai juga tak sendirian, ia tak boleh jauh-jauh dari laut. Setelah diseleksi di muara, barulah kotoran-kotoran itu melanglang buana di samudera Tuhan yang maha luas.
Maka, tanpa bisa dibendung seluruh penduduk kampung mencemari sungai dengan feses. Itu bukan salah mereka. Tak ada pilihan lain yang lebih masuk akal.
Bagi yang rumahnya jauh dari sungai tentu tidak punya toilet tersebut. Artinya, harus menumpang di tetangga. Saat pagi, urusan numpang-menumpang ini terkadang menjadi rusuh ketika toilet sedang terpakai. Tak ada antrean panjang memang, karena jarang sekali ada orang mau menunggu untuk urusan begitu. Paling hanya satu dua orang saja yang menunggu. Itu pun jarak berdirinya jauh-jauh.
Setelah giliran tiba, pas masuk ke toilet yang tidak ada atap itu kita juga harus pasang muka tebal. Apalagi, masih ada orang yang menunggu giliran. Ketika bunyi plung…plung…plung…terdengar, anggap saja itu angin lalu. Terdengar memalukan, ya, mau gimana lagi.
Kadang celetukan terdengar dari luar toilet. “Raya sang uroe nyoe.” Atau, “Peu kapajoh beuklam?” Jika suasana hati sedang baik, alangkah elok jika celetukan itu kita jawab. Apalagi, yang bertanya lebih tua dari kita. Jika tak ingin menjawab juga tak apa-apa. Si penanya tak memerlukan jawaban.
Selesai urusan buang, perlu melakukan satu hal lagi: membilas. Umumnya, orang-orang akan membawa seember air dari rumah masing-masing. Ada juga toilet yang berada tak jauh dari sumur. Sebelum masuk biasanya menimba dulu sebagai bekal untuk membilas. Baru setelah itu keluar dengan raut lega.
Toilet semi portable memang tak ramah lingkungan. Sungai jadi tercemar. Namun, bisa dikatakan__sepengetahuan saya__toilet-toilet itu jarang kotor. Toilet tak perlu disikat karena setiap orang dengan sadarnya tak mau meninggalkan jejak. Tidak ada juga tulisan ‘habis beol disiram’ atau ‘jagalah kebersihan’.
Toilet tersebut bisa dipindahkan bahkan dibongkar jika perlu. Bahkan, kadang-kadang dipindahkan oleh banjir di bulan-bulan tertentu. Jika dua hal itu tak terjadi, toilet itu nantinya akan ambruk sendiri setelah berbilang tahun ketika tiang-tiangnya mulai rapuh. Pemiliknya pun akan membuatkan lagi baru.
Kini, toilet-toilet gantung itu sudah ditinggalkan. Jika mau menyusurinya, paling hanya satu dua yang kelihatan jejak. Penduduk kampung sudah memasang toilet jongkok di rumah masing-masing. Sungai pun kini sepi dari aktivitas manusia. Hanya meuruwa yang masih sudi berkuasa di sana.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )