Ketika Narkoba Tak Pernah Jadi Musuh Bersama

Ah, istri Wakil Wali Kota saja memakai narkoba. Bagaimana nasib keponakan-keponakan kita, anak cucu, kerabat, handai tolan, dan sebagainya?

Ilustrasi narkoba (Freepik)

~ Life is full of surprises, some good, some not so good __ Pablo Escobar

Awal 2018 dimulai dengan banyak berita heboh. Salah satunya, insiden tertangkapnya Sherly Djou, istri Wakil Wali Kota Gorontalo Budi Doku.

Sherly diduga menggunakan narkoba. Dia ditangkap pada Selasa malam, 2 Januari, di rumah rekannya di Kelurahan Limba, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo.

“Ada barang bukti berupa satu buah alat hisap sabu, tiga sachet sabu, korek api gas dan enam handphone,” begitu kata Kepala Badan Narkotika Nasional Gorontalo Brigjen Pol Oneng Subroto, seperti dikutip Breedie dari Viva.

Pak Oneng memastikan Sherly bersama temannya positif menggunakan narkoba sesuai hasil pemeriksaan urine. Namun, hingga Rabu malam, Sherly dan temannya masih diperiksa polisi.

Wah, kira-kira bagaimana, ya, perasaan Pak Budi Doku mengetahui istrinya “tercyduk” BNN. Pak Budi malam itu, ke mana? Tahun baru, kok, nggak mendampingi istri tercinta?

Jangan-jangan Pak Budi lelah tertidur karena seharian bekerja. “Saya memohon maaf, mungkin istri saya khilaf dan ini adalah musibah, Insya Allah ada hikmah di balik peristiwa ini,” kata dia seperti dilansir Tempo.

Padahal, melihat jejak Pak Budi, ia sebenarnya orang kesehatan, lho. Pria kelahiran 6 Mei 1971 ini alumni Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Ia lulus pada 1998 lalu berkarir sebagai dokter di rumah sakit di Manado dan Gorontalo. Setelah itu menjadi kepala Puskesmas.

Di luar itu, ia juga pernah menjadi Wakil Ikatan Dokter Indonesia Gorontalo dan anggota Konsil Kedokteran Indonesia hingga 2011.

Saat itu pula, Pak Budi ini terjun ke dunia politik. Ia tercatat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Daerah RI daerah pemilihan Gorontalo sejak 2009-2014.

Barulah setelahnya menjadi Wakil Wali Kota Gorontalo hingga sekarang. Gorontalo juga ibu kota Provinsi Gorontalo.

Kota yang juga sering disebut Hulontalo ini terkenal pula dengan julukan “Kota Serambi Madinah”. Terdengar familiar?

Baca Juga: Perjalanan Medona Menuju Kota Terselow dan Tersantai Sedunia

Okelah, kita berprasangka baik saja, Bree. Mari kita kedepankan azas praduga tak bersalah seperti yang dilontarkan Wali Kota Gorontalo Marten Taha. Pak Marten sendiri mengaku prihatin karena istri wakilnya itu tertangkap mengisap narkoba.

Padahal, kata Pak Marten, “Kita baru selesai bicara masalah pemberantasan minuman keras dan narkoba. Akhirnya kejadiannya menyangkut orang dalam kita, sebagai wakil ketua TP (Tim Penggerak) PKK.”

Berkaca dari kasus ini, satu hal bisa ditarik: narkoba tak pernah menjadi musuh bersama. Narkoba hanya menjadi musuh beberapa pihak saja.

Mungkin bagi Breeders atau orang lain yang keluarganya pernah menjadi korban barang haram itu dan sama-sama ingin memerangi narkoba.

ilustrasi narkoba
Ilustrasi narkoba. (Pixabay.com)

Pablito Si Raja Kokaina

Namun, narkoba tak gampang pula diberantas. Lihatlah bagaimana Kolombia dan Amerika Serikat bekerjasama memberantas jaringan perdagangan kokaina Pablo Escobar.

Butuh belasan tahun hingga akhirnya Si Pablito__julukan lain Escobar__mati pada 1993.

Escobar sendiri mulai masuk ke dunia perdagangan narkotika pada 1973. Dia menyuap polisi, politisi, dan hampir sebagian besar aparat penegak hukum di Kolombia demi memuluskan bisnis haramnya itu.

Berbekal legitimasi tersebut, ia menjalankan kartel Medellin dan menjadikannya sebagai pemimpin kartel narkoba yang mengontrol 80 persen perdagangan kokaina di seluruh dunia saat itu.

Namun, setelah kematian Escobar, pasar kokaina tak pernah benar-benar mati.

Medellin bukan satu-satunya kartel di Kolombia yang bergerak dalam urusan kokaina. Ada Cartel de Cali yang berbasis di Kolombia bagian Selatan.

Para pendiri Kartel Cali awalnya bagian dari orang-orang Pablo Escobar. Namun, pada akhir 1980-an mereka memisahkan diri dan kemudian menjadi saingan kuat Medellin.

Ketika Escobar mati, Kartel Cali mengambil alih bisnis tersebut dan menjadi raja baru narkoba.

Berbekal koneksi ke tentara bayaran Inggris dan Israel, mata-mata dan informan yang tak terhitung jumlahnya di pemerintahan, serta jaringan intelijen dan pengawasannya yang luas di seluruh kota Santiago de Cali, kartel ini berkembang pesat.

Lembaga antinarkoba Amerika Serikat, DEA, pernah menyetarakan Cali dengan KGB, organisasi mata-mata Uni Soviet.

Pada puncaknya, kartel ini disebut-sebut memiliki kendali atas 90 persen pasar kokaina dunia.

Di sisi lain, pemberantasan narkoba yang dilakukan Amerika itu tak sepenuhnya sukses. Apalagi, pada tahun-tahun itu, Amerika sendiri sedang merancang sebuah hal yang justru bertolak belakang dari kampanye antinarkoba.

Pada 1982, Presiden Ronald Wilson Reagan mendesak kongres agar mendukung program “war on drugs”. Namun, pada saat yang sama, Amerika justru membuat skandal dengan pemberontak Contra di Amerika Tengah.

Amerika bekerjasama dengan mafia narkotika untuk membiayai Contra memerangi pemerintahan sayap kiri Sandinista, pimpinan Daniel Ortega di Nikaragua. Narkoba kemudian dikirim ke Amerika untuk diperdagangkan.

Di era Reaganlah, narkotika membanjiri Amerika dengan difasilitasi dan dibekingi secara rahasia oleh CIA dan Pentagon. Ada sekitar 50 persen kokain yang dikonsumsi para pemadat di Amerika.

Skandal itu akhirnya dibongkar oleh Gary Webb, wartawan San Jose Mercury News, sebuah koran kecil di Amerika. Webb memperoleh informasi tersebut dari seorang kekasih bandar narkoba yang bekerja untuk CIA.

Webb sendiri mendapat tekanan luar biasa setelah tulisannya itu diterbitkan. Ia bahkan dipaksa mundur dari tempatnya bekerja.

Pada 10 Desember 2004, ia ditemukan sudah tak bernyawa. Polisi menyebutnya bunuh diri dengan dua tembakan di kepalanya. Kisah ini juga dituangkan dalam film Kill The Messenger yang dibintangi Jeremy Renner.

Cerita tersebut lagi-lagi mengingatkan betapa sulitnya narkoba diberantas. Negara, sampai kapan pun tak akan sanggup. Narkoba akan terus mengalir deras ke negeri ini.

Ketika negara mengajak rakyat untuk sepakat memberantas narkoba, di situ seharusnya diakui, ini tak mungkin dilakukan. Jika pun mungkin, butuh bertahun-tahun lamanya, mengaca pada yang dilakukan Amerika.

Melihat kasus Sherly sebagai orang di tampuk atas sebuah pemerintahan, pihak yang harusnya paling getol memberantas narkoba, malah melanggarnya.

Baca Juga: Podcast Breedie Episode 6 – Keberkahan Corona bagi Terpidana Bersama Direktur YLBHI Asfinawati

Jika demikian, pertanyaannya adalah selain Sherly siapa lagi pejabat negara yang juga mengonsumsi narkoba.

Karena ketidakjujuran ini, suatu saat kita juga harus menerima dengan lapang dada satu demi satu generasi Indonesia akan hancur karena narkoba.

Katanya, Indonesia Darurat Narkoba. Terus kita harus bilang, wow, gitu?

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *