Salah Pencet Nomor Calon Nasabah Asuransi yang Berujung Hoki

Bapak itu kini tak cuma bingung. Bola matanya sedikit keluar, alisnya menekuk, dahinya berkerut-kerut.

Salah Pencet Nomor Calon Nasabah Asuransi yang Berujung Hoki

~ Gegara satu angka saja padahal

Ini pengalaman saya saat menjadi agen sekaligus financial advisor di salah satu perusahaan asuransi ternama. Bertemu banyak orang merupakan sebuah kelaziman dan makanan sehari-hari. Dari orang-orang yang bertipe A sampai Z kerap saya temui untuk tujuan prospek.

Jika menyisir Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, maksud kata ‘prospek’ yang bisa ditemukan di “kitab suci bahasa indonesia” itu adalah kemungkinan atau harapan. Prospek di asuransi (mungkin) kurang lebih sama, si agen memberikan kemungkinan atau harapan (tentunya bukan harapan palsu) kepada calon nasabah agar mau membeli produk.

Ya, tugas saya cuma sebatas menjelaskan produk dan manfaatnya tapi terserah kepada si calon nasabah. Apakah si calon nasabah mau menerima atau tidak, itu kembali ke ybs alias yang bersangkutan.

Kalau mau tahu deskripsi yang sedikit “berbau” intelek, Breeders bisa mengecek definisi agen asuransi yang tersirat di dalam Pasal 1 Ayat 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Di situ dijelaskan, agen asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung, dalam hal ini adalah perusahaan asuransi.

Sementara menurut Otoritas Jasa Keuangan, agen asuransi merupakan orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi dan memenuhi persyaratan untuk mewakili perusahaan asuransi memasarkan produk asuransi sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Intinya, penjelasan “dan atau” dari dua paragraf atas ini bisa saya ringkas menjadi: bekerja sebagai agen asuransi terkadang ada enaknya tapi banyak tidak enaknya. Yang mau saya ceritakan di sini adalah sisi tak enak tapi berujung enak. Hmmm, apakah itu?

Jadi begini, suatu hari di tengah kegabutan saya mencari calon nasabah, seorang teman akrab mengirimkan sebuah nomor telepon. Itu zamannya BlackBerry Messenger atau BBM masih ada, dan dia mengirimnya melalui aplikasi obrolan tersebut.

Baca Juga: Menggugat Layanan SMS, Si Anak Tiri di Tengah Kepungan Aplikasi Chatting

Karena baru “kandidat”, nomor itu tidak langsung saya save. Pikir saya, kalau mau menelepon tinggal pencat-pencet saja nomornya dengan hape “tinaninut” satu lagi yang khusus saya gunakan untuk “calling-meng-calling”.

Si teman merekom dengan yakin, pemilik nomor telepon tersebut calon konsumen yang kemungkinan berprospek cerah di masa depan sebagai nasabah asuransi.

Dia juga memberikan nama dan pekerjaan si pemilik nomor. Mata saya seketika berbinar. Insting keagenan asuransi saya seketika langsung bekerja cepat dalam tempo singkat.

Saya lantas menyiapkan jurus-jurus. Mulai dari jurus pembuka atau perkenalan hingga tangkisan-tangkisan yang dirasa perlu, dengan sebaik-baiknya. Kalimat pembuka untuk memulai penawaran saya rangkai. Begitu juga dengan kalimat-kalimat penangkis bilamana si calon nasabah menolak.

Singkat kata singkat cerita, saya pun memulai tahap pertama yakni penjajakan.

Saya pencet nomor telepon tersebut. Setelah nada dering kesekian, saya memperkenalkan diri secara singkat tanpa bertele-tele. Tentunya, dengan nada ramah yang tidak dibuat-buat, karena pada dasarnya saya ini orang yang ramah, ehm.

Syukurlah, si calon nasabah yang ternyata bapak-bapak, setelah saya jelaskan secara ringkas mau bertemu untuk membicarakan produk yang saya tawarkan. “Oke Pak, besok saya ke kantor bapak untuk menjelaskan lebih detil,” tegas saya di ujung pembicaraan. Saya merasa tak perlu bertanya lagi di mana alamat kantornya karena teman saya sudah memberitahukan sebelumnya.

Besoknya, saya pun berangkat ke sana dengan perasaan yang membuncah berharap prospek kali ini sukses. Saya sengaja mengajak teman yang memberikan nomor telepon sebagai pemandu. Takut-takut nyasar, ya kan?

Setelah melewati sekitar 10 desa dan empat kecamatan, angkot yang kami tumpangi tiba di tempat tujuan. Di gerbang kantor, saya menelepon memberitahukan kepada si bapak kalau saya udah nyampe.

Di sini, keganjilan pertama bermula. Saat saya bertanya di mana ruangan kerjanya, si bapak dengan nada yang terdengar bingung malah balik bertanya, “ngapain ke situ?”

Baca Juga: Bahagia dan Sedih Menjalani Kerja dari Rumah

Agar tidak ikut-ikutan bingung, saya pun menjawab, “loh, Pak, kita kan sudah janjian mau ketemu di kantor bapak, buat persentasi produk asuransi dari perusahaan saya…ini saya udah nyampe.”

Eh, tiada badai tapi adanya cuma angin topan, si bapak tetiba memutuskan telepon.

Tut…tut..tut…!

Kapaloe, saya kaget dong, apa-apaan ini orang? Kemarin sudah oke, kok sekarang nggak mau? Saya tak mau menyerah begitu saja. Calon nasabah harus dikejar sampai ke ujung dunia. Begitu kira-kira prinsip saya, walaupun tak pernah saya lakukan sih, hhhh.

Saya telepon lagi si bapak dan busetttt, nadanya langsung tut 3x. Ternyata, hapenya udah nggak aktif. Mungkin, beliau sengaja mematikan hape atau menjualnya atau habis batre, nggak taulah.

Saya tetap tak mau menyerah. Kawan saya memberikan solusi “tembak langsung” di tempat: mendatangi si bapak di ruangannya.

Ya udah saya pun manut. Namun, sebelum nyampe ruangan, kami mampir dulu di kantin. Perut saya menjerit minta diisi. Cacing-cacingnya udah lemas gegara peristiwa barusan.

Nah, sembari menyuplai isi perut, terjadilah keganjilan kedua. Teman saya memberitahu kalau si bapak calon nasabah—yang tadi menutup telepon tiba-tiba—sedang berada di kantin.

Setelah dikasih kode yang mana orangnya, segera saya samperin. Sodorin tangan ajak kenalan. “Enaknya kita ngobrol di mana, Pak?”

Kontan nggak pake nyicil si bapak langsung terheran-heran dengan suksesnya.

“Ngobrol apaan?”

“Kita kan udah buat janji, Pak, hari ini saya presentasi di kantor bapak.”

Bapak itu kini tak cuma bingung. Bola matanya sedikit keluar, alisnya menekuk, dahinya berkerut-kerut. Mungkin ia sedang berpikir keras kapan membuat janji dengan saya. Dia tak ingat dan hal ini mengingatkan kalau dirinya mulai menua sehingga wajar saja kalau ia lupa.

Namun, setelah beberapa kali menekuk alis, akhirnya si bapak mengajak saya ke ruangannya. Dada saya langsung plong.

Begitu sampai di ruangannya, tanpa diperitahkan saya langsung presentasi. Beliau dengan seksama mendengarkan paparan saya dari A sampe Z. Entah karena terlalu bersemangat, volume suara saya menjadi over, menggema ke seluruh kantor dan memecahkan seluruh kaca yang ada.

Baca Juga: Atas Nama Toa Meunasah

Eh, tidak ding. Hanya saja suara saya terdengar oleh teman-teman dan rekan-rekan kantornya yang kebetulan lewat depan ruangan. Mereka semua masuk ke rungan dan ikut nimbrung. Termasuk dua cewek sok cakep yang tadinya sedang “mabuk” skincare di sudut ruangan.

Mereka langsung tanya-tanya terkait asuransi. Tampaknya mereka memang belum “sekolah” soal itu, dan saya semakin bersemangat menjelaskannya.

Setelah penjelasan berapi-api, untungnya nggak sampe kebakaran, si bapak menanyakan nomor hape saya. “Ntar saya hubungi balek karena saya mesti ngobrol dulu sama istri.”

Sekarang giliran saya yang kaget. Kok, pake nanya nomor hape segala? Wonk, kita udah teleponan sebelum dan sesudah saya nyampe ke kantor beliau.

Si bapak juga kaget. Sekarang nggak cuma alis beliau yang naik, alis saya juga. “Sekarang nomor bapak malah ngga aktif,” sela saya sok tau di tengah-tengah kebingungan itu.

“Loh kok?” Si bapak menyuruh saya miskol ke nomor yang saya telepon tadi. Masih tak aktif. Dia menunjukkan hapenya. Hidup. Akhirnya saya sebutkan nomor saya untuk dimiskol dan…nyambung.

Di situlah baru ketauan…ternyataaa…yang saya telepon sebelumnya orang yang salah. Kedua nomor telepon itu hanya berbeda satu nomor. Dan saya…salah memencet satu angkanya.

(((SATU ANGKA))).

Saya harusnya tengsin dengan kejadian itu. Tapi karena jiwa keagenan asuransi yang saya sudah begitu mendarah daging (halah), saya cuek saja. Teman saya tidak putus-putusnya tertawa sampai keluar air mata melihat “insiden” salah sambung itu.

Alhamdulillah, selang dua hari si bapak menelepon closing dua case untuk istri dan anak pertamanya. Walaupun target saya empat case tapi nggak papalah…disyukuri aja.

Dan dua hari sesudahnya, saya penasaran sama pemilik nomor yang pertama saya telepon.

Saya coba call, aktif. Si bapak yang ini awalnya sempat meninggikan suaranya. Dikiranya saya mau ngeprank beliau. Setelah saya jelaskan duduk perkaranya sekaligus minta maaf, beliau pun terkekeh-kekeh.

Di sini, tanpa diduga, hoki saya berlanjut. Si bapak mau menjadi sasaran prospekan saya selanjutnya. Beliau setuju memakai produk asuransi yang saya tawarkan. Alhamdulillah, closing lagi satu case meskipun preminya kecil.

Ternyata, salah pencet nomor telepon tak selalu berujung sial. Bayangkan, salah satu angka saja bisa dapat tiga nasabah. Coba kalau salahnya dua atau tiga, ada berapa nasabah yang bisa saya dapat? Hadeuhhh…Mak, halunya kejauhan.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *