Hampir sepekan puasa, saya melewatkan rutinitas penting: mencari biawak. Ini istilah yang lahir dari mulut para keponakan saya. Mulanya istilah ini tidak kami patenkan tapi mendadak jadi acuan tersendiri untuk jalan-jalan sore. Jadi, kalau orang lain bikin istilah mencari angin, dengan sempurna kami ganti menjadi mencari biawak.
Di dekat rumah kami, biawak tidak lagi dijuluki binatang ajaib atau langka. Si Varanus salvator itu muncul setiap waktu, terutama di “waktu-waktu keramat” saat pagi dan petang. Dulu, saya jarang menyaksikan biawak berleha-leha di pinggir parit, konon lagi memamerkan kulit eksotis mereka di bawah matahari pagi. Sekarang, reptilia air ini dengan gatainya bereksibisi di dekat paret besar maupun kecil, tanpa merasa terusik dengan kehadiran manusia. Mereka tidak lagi langka. Menyebut biawak sama dengan menyebut ayam. Misal, kalau kau memberitahukan ke tetanggamu tentang biawak yang menyelinap dekat pagar rumahnya, si tetangga akan nyengir saja. Sudah biasa.
Bahkan, secara populasi yang pernah saya hitung serampangan, jumlah populasi biawak dekat rumah kami, lebih banyak ketimbang ayam piaran orang sekampung. Kalau kamu iseng membayangkan bahwa suatu hari ayam-ayam kampung akan habis diserbu biawak, ya boleh saja, sih. Lain apa mau bilang, ya kan?
Dulu, kulit biawak kerap diburu. Maka, di banyak kampung kita tau siapa saja yang dijuluki pawang meruwa. Kerjaan mereka mengoyak kulit biawak lalu membawanya entah ke mana. Saya sempat dengar dijual ke toke Cina. Mungkin dibuat tali pinggang karena tali kolor dari kulit biawak terlalu sulit untuk dijelaskan.
Sekarang, dengan populasi biawak yang melimpah ruah, tidak terdengar lagi kiprah para pawang biawak. Apakah mereka sudah kaya sehingga tak perlu lagi menguliti biawak, atau sanad kelimuan mereka terputus. Tidak ada anak-anak mereka yang mau meneruskan profesi tersebut. Jujur, suatu hari saya sampai pening memikirkan hal ini karena merasa sangat penting. Lebih penting dari isu tiga periode.
Saya merasa kehadiran pawang biawak sangat dibutuhkan sekarang ini. Biawak-biawak yang hidup dengan hedonnya di pinggiran kampung itu justru merusak rantai makanan yang telah lama rusak. Lagi pula, habitat biawak tidak terlalu cocok di dekat kampung yang padat penduduknya. Secara estetika tentu merusak pemandangan. Secara etika juga tidak baik karena kehadiran mereka membuat ayam-ayam tetangga jantungan. Hari ini, ayam-ayam itu dengan julidnya bergibah tentang kehadiran komunitas biawak tersebut. Mereka merasa sirkel pertemanan sesama ayam selama ini tiba-tiba terusik karena merasa dalam intaian. Ibaratnya, hari ini bisa ngakak, makan nasi sepuasnya, besok belum tentu. Siapa tau belum sempat kokok pagi atau jogging, leher sudah masuk mulut biawak.
Saya ingin menyelamatkan ayam-ayam itu walaupun mereka tak memintanya. Tapi saya tidak mampu mengusir biawak. Saya tidak punya ilmunya. Jadi, saya putuskan sepekan sekali, bersama ponakan’s, kami mencari biawak. Bukan untuk memburunya tapi hanya untuk mengejek dari jauh. Siapa tau, dengan cara di-bully begitu, biawak-biawak itu akan kesal dan memutuskan pergi beramai-ramai. Siapa tau. Walaupun hal ini saya yakin tidak akan berhasil, kami akan terus mencobanya. Doakan kami, ya, Bree!
Diperbarui pada ( 6 April 2022 )