Inilah bacaan doa sapu jagat untuk orang yang berkepribadian introvert demi kedamaian dunia yang lebih baik.
Bulan ramadan bulan penuh berkah. Rebahan saja bernilai ibadah. Ramadan bulan rahmat, pengampunan dan bulan makbul segala permintaan.
Si Bocil minta jajan takjil es campur kelapa muda sama bapaknya. Bundanya akan mengabulkan permintaan si anak asalkan ia bisa berpuasa satu hari penuh.
Besoknya lagi, si bocil minta takjil yang lain lagi. Bundanya siap sedia menydiakan menu pilihan anak, asal sanggup berpuasa sehari penuh sampai 30 hari.
Semua pemberian itu sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tua masing masing. Untuk yang berpenghasilan tinggi, yang dibeli bukan mobil-mobilan, melainkan Rubicon yang “fresh from dealer”.
Di Hari Fitri, Sang Bunda juga akan membeli outfit baru, mainan baru plus bonus berlembar-lembar uang angpau dengan nomor seri berurut. Itulah gambaran hubungan cinta kasih orang tua ke anak-anaknya.
Baca Juga:
- Sahur Stories: Es Kepal Milo
Berbeda dengan risol yang malu-malu masuk ke medsos, es kepal milo punya cukup banyak nyali untuk berseliweran di lini masa.
- Sahur Stories: Kudeta
Tentara-tentara di rumah Pak Yono juga ikut menembak. Pak Yono paling girang. Ia memuntahkan peluru bedilnya sambil berteriak “aaaa…..aaaaa…..aaaaa…!”
Bagaimana dengan hubungan kita dengan Tuhan? Hal yang sama juga berlaku. Saat semua kewajiban kita laksanakan dan larang-Nya kita jauhi, tentu doa kita bakal dikabulkan Tuhan.
Apalagi doa yang kita panjatkan di sepertiga malam Ramadan, mudah-mudahan pula bertepatan di malam lailatul qadar, fix doa kita—tidak pakek kata akan—dikabulkan Sang Khalik.
Jadi, doa apa saja yang perlu kita bacakan bulan Ramadan kali ini?
Yang terpenting, sesuai permintaan, harapan dan keinginan masing-masing.
Kalau saya pribadi, akan berdoa berdasarkan di mana saya tinggal, agar segala keinginan terkabulkan demi hidup di dunia yang lebih baik.
Misalkan, jika saya bekerja di belahan bumi Amerika atau menjadi buruh magang di Jepang atau Singapura, amalan doa setiap hari seperti ini; “Ya gani ya gani, neubie peng saboh guni”.
Intinya, baca doa-doa nabi Sulaiman. Kalau pun tidak menjadi seoarang yang kaya raja, bak Sultan Andara, minimal saya selalu berdoa untuk diberi rizki lebih dari cukup.
Sejatinya, filosofi hidup warga Jepang, Singapura atau Amerika dan negara barat lainnya adalah time is money.
Selama kamu banyak uang, hidupmu akan semakin mudah. Paling, hanya tetangga dan petugas pajak yang akan julid dengan harta bendamu.
Memang, di negara orang semua serba uang. Jangankan makan siang gratis, daun pisang untuk bungkus timphan pun harus beli.
Namun, untuk urusan dalam negeri seperti mengurus birokrasi negara, petugas di sana tidak akan pungli.
Nyatanya, saya ini tinggal di negeri +62. Maka doa yang saya amalkan sederhana tapi lebih panjang sedikit dari doa bila saya tinggal di Singapura:
“Ya Allah ya Tuhan kami… Mudahkanlah segala urusan hidup ini..”
Sesimpel itu saja doanya.
Ya. Karna saya seoarang introvert, tidak banyak kawan, tidak banyak network bahkan “ordal”. Maka doa itu yang saya amalkan di setiap kesempatan, bahkan saat ziarah kubur sekalipun.
Pasti ada sesuatu yang sering terjadi dalam hidup mas Bree ini, sehingga amalan doanya sedikit absurd begitu?
Begini ceritanya.
Karena saya tinggal di negeri +62 yang katanya tanah surga, lempar kayu dan batu jadi tanaman, jadi buat apa lagi berdoa menjadi hamba yang kaya.
Hidup di “surga” yang segala sesuatu sudah tersedia. Mau makan, dari padi hingga sayuran, ikan dan daging rusa tersedia murah.
Mau bangun rumah, jangankan batu, gunung semen melimpah. Jangankan buah pisang, balok kayu empat-dua cukup ke rimba Tuhan. Tebang pohon, bawa pulang. Rasanya cukup mudah bukan?
Tapi, ada satu hal di tanah surga Indonesia yang terkanal kaya raya adil dan makmur yang tidak mudah. Apa itu?
Berurusan dengan para “malaikat” penjaga pintu-pintu birokrasi. Seperti yang Bree ketahui, prosesnya lama karena mejanya panjang dan sangat bertele-tele.
Birokrasi yang panjang, musuh investor luar negeri apalagi kita rakyat jelata, berkepribadian introvert pula, berurusan dengan yang bertele-tele bisa bikin drop energi dalam sekejap.
Contoh. Pada suatu hari di bulan Ramadan, saya mau ambil bagian pemutihan pajak motor.
Untuk menghidupkan kembali surat administrasi motor zombie—motornya hidup, pajaknya mati—di salah satu jawatan penerimaan retribusi yang berada di sebuah daerah berjuluk Negeri di Atas Langit.
“Pak, saya mau proses mutasi, cabut berkas motor zombie dari tanah “surga” dingin ini.”
“Baik pak, STNK-nya saya cek dulu, di bagian belakang,” kata si petugas di loket satu bagian pajak progresif.
Tak sampai semenit, bapak petugas itu kembali lagi ke front office.
“Biayanya satu juta setengah pak,” ujarnya selow.
Kedua alis saya langsung sekaku tali rafia, sambil berucap “WTF” dalam hati.
“Bukankah biaya cabut berkas cuma Rp200 ribu?”
“Bapak mau proses di sini atau proses sendiri?”
“Saya mau proses sendiri.”
“Kalau begitu, silakan menuju ke ruang di belakang itu,” ujar si petugas sambil mengarahkan saya jalan menuju back office, lewat sisi sebelah kanan kantor.
Inilah salah satu contoh masalah hidup yang harus dilewati di negara +62. Aturan yang telah tertulis sangat jelas dalam kitab undang-undang, bisa dibuat rumit.
“Aturan yang dibuat, khusus untuk dilanggar,” begitulah kata Jin 76.