Rolling Stone Tanpa S

Karena segala yang hidup suatu saat pasti akan mati. Sekali berarti, sesudah itu mati, begitu kata Chairil Anwar.

Cover Rolling Stone Indonesia. @ebooks.gramedia.com

Breedie (baca: bridi) masih berupa ulat yang terbungkus kepompong ketika majalah Rolling Stone Indonesia berhenti tayang dan terbit. Fuadi Mardhatillah, wartawan Pikiran Merdeka, menulis di status WhatsApp-nya: digilas zaman.

Sepintas, ada rasa empati di situ karena yang bersangkutan adalah jurnalis cum pemusik. Fuadi gitaris Tangke, band pengusung musik etnik Aceh.

Di ruang redaksi Pikiran Merdeka atau PM, nyaris tak ada yang tahu kalau Fuadi itu musisi. Hingga suatu malam di pengujung deadline yang melelahkan, rahasia itu terkuak.

Namun, karena band itu namanya mulai jarang terdengar (mungkin hanya eksis di Youtube), malam itu tak ada makan-makan untuk merayakan terbongkarnya rahasia Fuadi.

Jadi, lupakan Fuadi. Biarlah ia berkutat menelusuri isu-isu politik untuk ditulis menjadi artikel yang tayang di PM.

Bagi Breedie, berhentinya Rolling Stone bukan sebuah kabar baik, konon lagi buruk. Kesannya biasa saja.

Mungkin, ini pengaruh dari hilangnya beberapa media cetak sebelumnya. Misalnya, HAI, majalah milik taipan media Kompas Gramedia yang beralih ke format digital. Majalah remaja pria ini terakhir terbit pada Juni 2017.

HAI mungkin terkena palu godam pengaruh internet; teknologi yang mahacepat, ringkas, dan tentu hemat. Breedie, untuk ini (terpaksa) berterimakasih luar biasa kepada Leonard Kleinrock yang menemukan internet pada 1969. Tanpanya, Breedie tak mungkin ada.

Lalu, kenapa majalah Rolling Stone Indonesia berhenti terbit? PT a&e Media sebagai pemegang lisensi Rolling Stone di Indonesia (majalah dan website) tak terang-terangan menyebut penyebabnya.

Lewat pengumuman di situsnya, perusahaan hanya menyebutkan, “Mulai 1 Januari 2018 kami tidak memegang lisensi majalah Rolling Stone Indonesia dan situs Rolling Stone Indonesia untuk beroperasi di wilayah Indonesia. Segala kepemilikan merek di bawah Rolling Stone Indonesia atau yang terhubung dengan Rolling Stone Indonesia telah dikembalikan kepada pemilik merek Rolling Stone di New York, Amerika Serikat, dan Rolling Stone International”.

Rolling Stone merupakan majalah dua mingguan yang fokus pada budaya pop. Setidaknya itu yang ditulis Wikipedia. Majalah ini didirikan di San Fransisco, Amerika Serikat pada 1967 oleh Jann Wenner. Rolling Stone Indonesia masuk ke Indonesia pada 2005.

Menurut Tirto, Indonesia negara pertama di Asia yang menghadirkan Rolling Stone. Edisi pertama terbit pada Mei tahun itu dengan gambar sampul Bob Marley.

Majalah ini juga membahas Linkin Park, Metallica, Britney Spears, hingga Slank.

Rolling Stone sendiri mirip nama band asal inggris. Dulu, karena pengetahuan Breedie yang begitu tumpul soal musik, sempat mengira majalah tersebut memang fanzine dari band bersangkutan. Ternyata berbeda.

Pembeda itu hanya huruf “s”. Rolling Stone adalah media, sedangkan Rolling Stones nama band.

Dari beberapa wawancara Breedie (lebih tepatnya meminta pendapat) kepada beberapa narasumber dadakan lewat WhatsApp, banyak yang mengira Rolling Stone memang identik dengan band.

Bahkan, Dian Guci, penulis di Aceh Barat Daya yang baru pulang meliput Leuser, pernah mengartikan Rolling Stone secara gamblang sebagai “batu yang menggelinding dari gunun”.

Tentu saja, sebutan itu hanya seloroh yang keluar secara spontan dari Teh Dian, saat ia sedang menghabiskan masa mudanya di Bandung, tanah kelahirannya. Tahun-tahun ketika Nella Kharisma belum lahir, konon lagi dangdut koplo.

Baca halaman selanjutnya

Ada juga yang lekat dalam ingatan tentang stiker logo lidah

Diperbarui pada ( 9 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *