Cerpen: Pos Jaga

Di kamar aku meringkuk di balik sarung. Seperti didera ketakutan tapi tak sanggup membayangkan akan diteror oleh apa.

Ilustrasi pos jaga di kampung.

Tengah malam itu pintu rumah diketuk. Mulanya pelan, lama-lama keras dan bernada gelisah. Ketukannya menggetarkan setengah ruang tamu, di rumah yang 60 persennya bermaterialkan kayu.

Aku terkesiap, awalnya kukira mimpi. Lambat laun kudengar suara Abu memanggil nama ayah.

Abu teman mainku walaupun usianya jauh di atasku. Dia harusnya kupanggil Bang tapi di kampungku yang baru masuk listrik, senioritas dan junioritas belum menemukan kesombongannya yang hakiki.

Lain halnya ketika ia memanggil ayahku Bang, ini karena ayahku sudah kawin dan punya anak. Abu belum kawin, apalagi punya anak.

“Bang, diyue jak u pos. (Bang, disuruh pergi ke pos jaga),” ujar Abu setengah berteriak. Jelas bahwa ia disuruh untuk datang ke rumah dan menyampaikan pesan tersebut.

Ayahku tidur di kamar depan, yang lebih dekat dengan pintu utama rumah. Saat itu rumahku belum punya teras. Jadi bisa kutebak kalau Abu berdiri tak jauh dari pintu depan. Suara Abu seharusnya terdengar oleh Ayah.

Namun, ketika mendengar Abu berulang kali mengetuk pintu, aku tahu Ayah belum bangun. Aneh, padahal beliau seringkali terbangun saban malam, lalu keluar rumah untuk merokok di jambo depan rumah.

Baru beberapa detik kemudian ketika ranjang yang juga terbuat dari kayu, bercericit. Ayahku sudah bangun. Beliau tak menyalakan lampu kamar. Sepertinya cuma menyalakan senter saja. “Iya,” jawab ayah.

Setelah itu terdengar langkah-langkah Abu menjauh dari pintu lalu keluar dari halaman rumah, menembus gelap, dan memijak kerikil di jalan depan rumah.

Aku menguping dengan teliti suara langkah itu. Mencoba menerka dengan siapa Abu datang.

Sepertinya sendiri. Atau berdua, mungkin saja. Lama-lama suara langkah itu terdengar berderap. Abu sepertinya berlari agar lebih cepat sampai di pos.

Ayahku mendehem beberapa kali. Seperti memberikan sebuah sinyal kepada seisi rumah bahwa beliau bersiap untuk sesuatu. Kudengar suara Mak yang bertanya dan dijawab dengan hanya gumaman saja oleh ayah. Apakah Mak melarang Ayah pergi? Entahlah.

Di kamar aku meringkuk di balik sarung. Seperti didera ketakutan tapi tak sanggup membayangkan akan diteror oleh apa.

Sepi yang menelungkup seisi rumah di dinihari itu kemudian pecah oleh langkah-langkah Ayah yang menyeret kakinya menuju pintu dan membukanya. Lalu kaki-kakinya melangkah ke halaman, dan seterusnya ke jalan.

Langkah-langkahnya tak terdengar tergesa tapi bisa kupastikan Ayah akan ke pos.

Entah apa yang terjadi di sana nanti. Aku mencoba membayangkan hal-hal yang sedikit lucu. Ayah dan teman-temannya mencari kepiting di tambak belakang pos dengan sebuah tombak dari batang bambu kecil.

Bukannya disuruh merayap di jalan aspal depan pos.

Aku tertidur lagi setelah membayangkan itu. Membayangkan kepiting-kepiting hijau yang ditangkap di bawah akar-akar bakau itu memerah saat direbus dalam panci. Lidahku mulai mencecap daging kepiting rebus yang lembut tanpa bumbu penyedap.

Baru saja liur menetes, bunyi eeet dari langit-langit rumah tiba-tiba mengagetkan. Padahal, bunyi itu terdengar saban malam dalam interval yang tak bisa ditebak. Entah kenapa, suara tersebut tetap saja mengagetkan saat didengar. Kata Ayah, suara itu berasal dari urat-urat papan yang masih muda.

Namun, Utoh Seuman yang membangun rumahku berkata dengan setengah bercanda kalau itu suara jin-jin yang menghuni papan. Papan itu, kata dia, ditebang dari pohon yang jauh di tengah hutan.

Jin-jinnya tak rela makanya mereka ikut serta. Harusnya, kata Utoh Seuman, para penebang tak sembarangan menebang pohon di hutan. Seharusnya mereka memilih pohon tertentu, jenis pohon yang tidak dihuni jin.

Aku mencerna maksud Utoh Seuman tapi tak pernah paham. Yang terjadi, aku menganggap setiap kali bunyi eeet terdengar, ini berarti jinnya sedang menggeriwat atau menggelinjang.

Masih dinihari, belum subuh. Aku memasang kuping, mencoba menangkap suara dari pos yang berjarak sekitar 700 meter dari rumah. Tapi telingaku malah menangkap suara deburan ombak di tepi pantai yang berjarak sekitar satu kilometer.

Aku sepertinya tertidur lagi, bahkan melewatkan Subuh itu tanpa sembahyang. Mungkin diiringi repetan Mak yang capek menyuruhku bangun.

Aku tak sanggup bangun. Kukira hingga pukul tujuh pagi itu aku telah bermimpi tentang sebuah kejadian yang buruk. Aku melihat banyak sepatu lars melayang-layang ke udara di dalam suasana yang gelap.

Sepatu-sepatu itu berputar dalam sebuah lingkaran merah berbau amis.

Namun, dua jam kemudian bayangan-bayangan buruk itu hilang ketika kulihat Ayah tertidur di kamarnya. Beliau telah kembali dari pos. Apa yang terjadi di sana dinihari tadi?

Aku menghabiskan sarapan dengan gundah. Aku kesal, tapi entah sama siapa. Sama Abu? Tentu tak pantas. Abu kan cuma disuruh menjemput. Syukurnya, bukan tentara-tentara itu yang menjemput.

Aku berpikir, seharusnya Abu tadi malam memanggilku. Tapi ini juga mustahil. Usiaku belum masuk kategori penjaga.

Di pos jaga itu, ada tujuh kelompok orang yang bertugas berjaga secara bergiliran sehari sepekan. Nama-nama mereka tercatat di papan pengumuman pos. Mirip roster mata pelajaran sekolahku. Setiap kelompok berisi sekitar tujuh hingga sepuluh orang.

Pemilik nama-nama itu, termasuk Abu dan Ayah, semuanya orang dewasa dan telah berkawin. Jika Abu ikut berjaga kemungkinan ia menggantikan ayahnya yang sudah uzur. Di kampungku, di setiap rumah yang ada lelaki dewasanya, harus ikut berjaga. Apa yang dijaga? Aku tak tahu.

Ada beberapa nama yang tidak kukenal ketika suatu hari iseng membaca roster tersebut. Nama Utoh Seuman tak ada padahal ia termasuk ikut berjaga. Kawanku bilang, nama asli Si Utoh bukan Seuman tapi Usman. Tidak ada nama samaran atau alias di roster. Konon lagi gelar-gelaran seperti utoh dicantumkan. Namun, ada empat Usman terlihat di situ.

Di kampungku, pos jaga cuma satu. Letaknya dekat kali kecil yang memisahkan tambak. Kali ini bukan sungai atau krueng. Kami sekampung menyebutnya bleue. Eue yang dibaca seperti pada kata leumang. Sungai bukan, parit apalagi. Airnya masuk dari sungai di timur kampung.

Lebar bleue ini bervariasi. Ada yang sepuluh meter, ada juga yang cuma dua meter. Dalamnya juga begitu walaupun kebanyakan cuma sedengkul orang dewasa. Di ujung kampung, sebuah jembatan kayu dibuat agar orang-orang tambak gampang melintas.

Ternyata, malam itu Ayah direndam di dalam bleue itu oleh tentara-tentara itu. Sebelumnya, ia dan teman-teman grup jaganya disuruh merayap di jalan aspal depan pos.

Baca Juga: Cerpen: Anomali dari Langit

Malam itu, Ayah tidak datang ke pos karena tak enak badan. Sialnya, malam itu ada pemeriksaan mendadak. Karena anggota jaga tidak lengkap, Abu diutus menjemput. Gara-gara ketidakdisiplinan daripada Ayah, seluruh anggota jaga kena imbas.

Orang-orang dewasa itu bertahan hingga subuh dalam kondisi menggigil. Ini cerita Abu kepadaku. Bagaimana dengan Ayah? Beliau cuma mengangguk ketika Mak mengonfirmasikan ulang. Rupanya, Mak juga tahu. Gosip cepat beredar.

Padahal, insiden seperti itu saban bulan berulang. Dan pos jaga itu dengan senang hati menyaksikan orang-orang merayap dan direndam saat dinihari.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *