BNOW ~ Seorang perwira veteran Central Intelligence Agency atau CIA tewas dalam sebuah pertempuran di Somalia beberapa hari lalu.
Perwira CIA yang tewas tersebut bekas anggota Tim SEAL 6; pasukan elit Angkatan Laut Amerika Serikat.
Identitas dan kronologi kematian anggota divisi paramiliter CIA itu dirahasiakan. Tidak jelas apakah ia tewas dalam serangan kontraterorisme atau korban serangan musuh.
CIA menolak berkomentar.
Kejadian itu menambah daftar petugas CIA yang terbunuh selama 20 tahun terakhir, menjadi 135 orang.
Tak seperti militer Amerika, kematian perwira CIA dalam pertempuran relatif jarang terjadi. Namun, pekerjaan paramiliter tetaplah tugas paling berbahaya bagi petugas CIA.
Insiden terjadi saat Amerika berencana menarik sekitar 700 pasukan militernya yang sedang melakukan pelatihan dan misi kontraterorisme Amerika di Somalia.
Pasukan akan dipulangkan Januari tahun depan, bersamaan dengan keluarnya Donald Trump dari Gedung Putih.
Pasukan operasi khusus Amerika telah lama bergabung dengan tentara nasional Somalia dalam perang kontraterorisme melawan kelompok militan Al-Shabaab.
Tugas utama tim yang dipimpin Navy SEAL adalah melatih dan membangun pasukan infanteri elit Somalia.
Berafiliasi dengan Al Qaeda
Al Shabab atau “Pemuda” adalah salah satu afiliasi aktif Al Qaeda di Somalia. Kelompok militan ini pernah menguasai ibu kota Mogadishu pada 2006.
Al Shabab juga pernah menyerang di luar Somalia untuk pertama kalinya pada 2010, ketika pemboman bunuh diri menewaskan 74 orang di ibu kota Uganda, Kampala.
Cikal bakal Al Shabab adalah Al-Ittihad al-Islami (AIAI) yang muncul pada 1990-an, setelah jatuhnya rezim Siad Barre akibat perang saudara. Junta militer Siad Barre memerintah Somalia sejak 1969 hingga 1991.
Pekan ini, Al Shabab mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan sekelompok tentara Somalia yang dilatih Amerika.
CIA yang telah lama menganggap Somalia sebagai zona perang sangat berbahaya, melihat Al Shabab sebagai ancaman regional bagi Afrika dan kepentingan Amerika di sana.
Pengamat kontraterorisme percaya Al Shabab bakal menjelma seperti ISIS dan Al Qaeda bila dibiarkan.
Kritikus mengatakan rencana Trump menarik pasukan dari Somalia datang pada saat genting bagi negara yang lelah dengan perselisihan di Tanduk Afrika itu.
Somalia sedang bersiap menjalankan pemilihan parlemen bulan depan dan pemilihan presiden awal Februari. Pemulangan pasukan Amerika makin memperburuk situasi keamanan saat pemilu.
Sementara itu, gejolak politik yang sama juga meletus di negara tetangga, Ethiopia, di mana tentaranya juga ikut memerangi Al Shabab.
Departemen Pertahanan dan Luar Negeri dan Badan Pembangunan Internasional Amerika, Rabu lalu dalam laporannya mengatakan ancaman teroris di Afrika Timur tidak menurun.
“Meskipun tekanan kontraterorisme dilakukan Somalia, Amerika, dan pihak internasional selama bertahun-tahun.
“Shabab mempertahankan kebebasan bergerak di banyak bagian Somalia selatan dan telah menunjukkan kemampuan serta niat untuk menyerang di luar negeri, termasuk menargetkan kepentingan Amerika,” bunyi laporan tersebut.[]
Diperbarui pada ( 21 Maret 2024 )