Perpustakaan Umum Sebenarnya Tempat yang Menjijikkan

Mereka semua tertular. Separuhnya tak selamat. Lantas 10 orang yang meninggal itu disebut sebagai korban “Cluster Tere Liye”.

Breedie pejuang literasi

~ Apa cerita air liur mu hari ini?

Orang-orang datang ke perpustakaan umum dengan baju bersih, rapi, dan kelihatannya sudah mandi. Penampilan mereka nyaman dipandang. Tak terbayangkan orang-orang itu punya kebiasaan jorok. Mereka mencitrakan manusia terdidik yang terbiasa dengan penataan diri.

Di dalam perpustakaan, perilaku baik mereka yang lain pun bisa dilihat: patuh pada keharusan tertib. Dilarang berisik, mereka patuh. Dilarang makan-minum, patuh. Dilarang menelepon, juga patuh.

Keeleganan mereka bikin saya terkagum-kagum.

Tapi saat mengamati perilaku mereka ketika membaca buku, saya mulai merasa jijik. Berbeda dengan saya yang sukanya kaos Manchester United lusuh produksi Thailand, orang-orang yang berpakaian necis itu membuat perpustakaan umum menjadi salah satu tempat yang sama menjijikannya dengan WC umum khas Indonesia.

Baca Juga: Bingung Mencari Tempat Terbaik untuk Menulis? Di Kamar Mandi Saja

Kebiasaan rajin membaca rupanya berpadu dengan kebiasaan menggunakan ludah untuk memudahkan pembalikan halaman buku. Anda tahu, kan, maksud saya? Mulanya mereka mencolek liur di lidah dengan jari telunjuknya. Lalu ujung jari yang sudah berlendir itu ditempelkan di kertas buku agar mudah ditarik saat membalikkan halaman.

Bagaimana cara mengetahui bekas air liur ada di halaman berapa saja?

Gampang. Simak baik-baik penjelasan sederhana berikut:

Evi berangkat ke perpustakaan umum dengan dandanan mentereng, bibir merah merona seolah-olah pakai Revlon padahal bekas pewarna saus produksi Sumatera Utara, dan tas tenteng merk Hermes Paris Herman Bekasi. Sesampainya di perpustakaan dia segera memilih buku, cari tempat duduk, lalu mulai membaca.

Evi membaca salah satu buku karangan Tere Liye. Buku tersebut dicetak dengan format halaman bernomor ganjil dan bernomor genap berada di helai kertas yang saja. Dengan demikian halaman 2 berada di balik halaman 1, halaman 4 di belakang halaman 3, halaman 6 akan dijumpai setelah membalikkan halaman 5, begitu seterusnya.

Dengan kata lain, setiap kali mau membaca kelanjutan cerita di halaman bernomor genap Evi akan meletakkan jari berliurnya di permukaan kertas beralaman ganjil.

Itu berarti semua halaman bernomor ganjil di buku Tere Liye itu sudah pasti terdapat bekas air ludah Evi. Termasuk ludahnya adek-adek unyu penyuka sastra populer dan para pejuang literasi lainnya yang pernah baca atau pinjam buku tersebut.

Apakah air ludah pejuang literasi aman bagi kesehatan?

Begini saja. Katakanlah dari hasil PCR Swab, Evi dinyatakan positif Covid-19. Ludah Evi berarti ada virusnya. Buku yang dibaca Evi tadi pada kemudian waktu dipinjam-baca oleh 20 orang. Mereka semua tertular. Separuhnya tak selamat. Lantas 10 orang yang meninggal itu disebut sebagai korban “Cluster Tere Liye”.

Melihat kebiasaan jorok ini, saya selalu menentang usaha peningkatan minat atau budaya membaca buku. Semakin banyak orang suka membaca, semakin banyak buku milik perpustakaan umum jadi menjijikkan. Kecuali bila yang tumbuh adalah “budaya membaca buku yang dibeli sendiri”.

“Tapi kan masyarakat kita banyak yang tidak mampu beli buku bang”

Baca Juga: Krisis Rukun Tetangga di Masa Pandemi

“Alah, bacot. Makanya kalok miskin tu jangan jorok. Jorok bikin sakit. Sakit bikin keluar uang. Keluar uang bikin makin miskin. Makin miskin bikin makin nggak mampu beli buku sendiri. Nggak mampu beli buku sendiri bikin terpaksa ke perpustakaan. Ke perpustakaan bikin sakit. Sakit bikin keluar uang. Keluar uang bikin…”

“Stop! Udah paham aku bang kausalitas yang ko maksud”

“Emang yang ko pahami apa?”

“Yang ku pahami: kebiasaan menggunakan air ludah saat membaca buku akan mempersulit pencerdasan anak-anak bangsa yang berasal dari keluarga miskin”

“Paten!”

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *