~ Nisan kuno buah karya peradaban Aceh masa lampau
Beberapa kendaraan melaju pelan, seolah ingin berhenti dan melihat sejenak ke “piasan” yang teronggok di tepi jalan Krueng Raya-Banda Aceh, Kamis, 11 Februari 2021.
Beberapa orang dengan rompi dan helm proyek berkerumun di sekitar “piasan” tersebut. Mereka, para pekerja tol Sigli Banda Aceh di kawasan Lambada, Baitusalam, Aceh Besar.
“Piasan” yang dikerumuni itu tak lain adalah batu-batu nisan kuno yang diduga berasal dari zaman kesultanan Aceh. Ada sekitar 10 nisan yang ditemukan di sekitar mulut tol oleh para pekerja. Beberapa nisan masih tegak berdiri. Ada pula yang jatuh dan patah.
Selain itu, ada nisan telah digali dan beberapa masih berdiri di gundukan tanah yang dalam bahasa Aceh disebut buhum. Istilah buhum yang serupa tanoh cot atau tanah tinggi ini diungkapkan Budayawan dan Sejarawan Aceh, Tharmidzi A Hamid, yang menyempatkan diri datang ke lokasi hari itu.
Dari mulut pria yang disapa Cek Midi ini terungkap, lokasi tempat nisan-nisan ditemukan merupakan kawasan inti dari kerajaan kuno Aceh Lhee Sagoe: Indrapatra, Indrapurwa, dan Indrapuri. “Lokasi ini termasuk kawasan Indrapatra, artinya, di sini ada beberapa gaya corak batu nisan, seperti corak Hindu India, tetapi lebih banyak kita temukan corak Persia,” ujarnya.
Nisan bercorak Persia rata-rata ditemukan di makam ulama-ulama terdahulu dan para pembesar kesultanan. Para ulama tersebut ada yang berasal dari Kesultanan Aceh Darussalam, ada pula dari kawasan lain.
Kalau ada batu nisan yang ditemukan di tengah gunung, rimba, atau jauh dari pemukiman, kata Cek Midi, bisa jadi itu makam orang-orang berpengaruh seperti ulama.
Ada alasan kenapa makam-makam ulama kerap ditemukan jauh dari pemukiman. Jasad-jasad ulama itu dibawa lari supaya tidak dikuntit penjajah. “Karena penjajah ingin membumihanguskan budaya dan sejarah Aceh. Kalau dapat tangan dari jasad itu, ya, tangan itu yang dipersembahkan kepada negaranya, bahwa mereka berhasil menaklukkan atau membunuh ulama-ulama berpengaruh di Aceh.”
Aceh Gemilang
Saat Aceh Darussalam lahir, Baitussalam termasuk ke dalam kawasan kesultanan. Bila dilihat dari bentuknya, nisan-nisan di Lambada Baitussalam berasal dari abad 16 dan 17 Masehi. “Itu masa-masa gemilangnya Aceh, masa hidupnya karya seni Aceh. Nisan tersebut mutu manikam bagi Aceh dan tidak dimiliki oleh daerah lain, memiliki ciri khas dan klasik.”
Jika banyak ukirannya, kata Cek Midi, berarti itu batu nisan seorang ratu atau para ulama. Kalau nisannya tinggi besar menandakan raja dan juga ulama. “Karena ulama memiliki karakter dari keilmuannya, sementara raja harus mengetahui seluk beluk ulamanya.”
Ada juga nisan yang berbentuk kubah dan lain sebagainya. Melalui bentuk-bentuk itulah dapat diidentifikasi siapa jasad di dalam makam. “Orang yang tidur di dalam itu, dia sudah menitipkan grade dari keilmuannya, berapa jumlah muridnya, berapa karyanya sudah tertulis di nisan itu, karena dulu tidak ada media. Untuk menjelaskan kepada generasi sekarang, ya, melalui peninggalan seperti ini.”
Sepatutnya, nisan-nisan itu segera diurus dan diselamatkan. “Butuh peran semua pihak untuk menyelamatkannya, baik Balai Pelestarian Cagar Budaya maupun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, karena ini penemuan yang khazanah dan aset untuk pariwisata.”
Menurut Cek Midi, nisan-nisan yang ditemukan dalam posisi jatuh karena faktor bencana. Sedangkan yang ditemukan di atas buhum murni makam. “Jika tidak diselamatkan sekarang, bila terjadi bencana ke depan dipastikan hilang lagi.”
Nisan-nisan kuno Aceh itu harus dipersembahkan untuk dunia dan menjadi referensi bagi ilmu pengetahuan, maupun generasi masa depan. Selain itu, sebagai bukti bahwa Aceh adalah panggung dari segala kebudayaan di Asia. “Aceh dikenal dengan peradabannya. Dan peradaban itu panggung dari seluruh kebudayaan yang harus diapresiasikan dengan luar biasa.”
Cek Midi juga menggarisbawahi penemuan tersebut juga menjadi suatu bukti bagi Baitussalam sebagai rumah dari taman-taman kebudayaan yang mengikuti peradaban Persia, India, dan Arab. “Karena cikal-bakal kerajaan Aceh Darussalam adalah Lamuri, dan [lokasi] ini termasuk kawasan Indrapatra.”