Setiap aku naik angkutan antarkota L300, ada satu hal yang kadang-kadang begitu kurindukan: menikmati kidung melow dari penyanyi lawas Endonesa, Bung Tommy Hilfiger J Pisa. Tapi, ada satu kidung khusus yang mampu membuat bulu hidungku bergetar-getar syahdu jika mendengarnya: Di Batas Kota Ini atau At The Town Border versi british-nya, biar rada mirip dengan Dear God-nya Avenged Sevenfold.
Aku tau ini terkesan bercanda. Tapi, kandungan dari kedua lagu beda genre beda zaman dan beda negara ini sama-sama mengandung kata “kota” di sana. Tak percaya? Coba kalian ngulik sendiri dan resapi dalam-dalam, niscaya kalian akan menemukan kandungan bawang di situ.
Bung Tommy di dalam lagunya itu berkisah tentang dirinya yang sedang melewati dan atau berhenti di batas kota. Sementara Dear God bercerita tentang pengelana yang melintas beberapa batas kota. Di At The Town Border, Bung Tommy meminta maaf kepada kekasih tambatan hati agar memaafkan dirinya yang bakal pergi. Mungkin turing Jawa-Bali bersama Honda CB kesayangan. Saking bucinnya, Bung Tommy merasa beliawlah yang sangat sangat bersalah dalam hubungan percintaan tersebut.
Sementara di Dear God, seseorang menitipkan kekasihnya ke Tuhan agar menjaganya selama ia pergi dan mungkin tidak akan kembali. Dalam level bucin keduanya sama.
Baca Juga:
- Cerita di Balik Lagu Tsunami yang Memakai Bahasa Aceh dan Inggris
- Canon Rock dan Pengiring Persilatan Asmara
- Grunge, Harga Mati Tanpa Hegemoni
Jadi, bisa kita urai kesimpulan sementara dari sini bahwa kota selalu menyimpan cerita pada setiap pecinta. Terutama yang bucinnya mengalahkan sinetron. Karena kota kadangkala menjadi tempat singgah, atau tempat kembali, atau tempat memulai sesuatu yang baru.
Apa yang ingin kubilang adalah, kenapa lagu Di Batas Kota Ini membikin hidungku meriang, tak lain karena ini lagu lawas yang lama hinggap dalam ingatan. Aku mengetahui lagu ini dari kaset tape yang kuputar sekitar tahun 95/96. Mungkin, ini semacam album bajakan karena tidak menyertakan lirik lagu pada kertas sampulnya, sebagaimana kaset lagu zaman itu. Kaset itu hanya dimuat dalam kotak mirip kota sabun, yang berisi selembar cover dilapisi plastik. Di cover itu, ada foto Bung Tommy muda dengan rambut gondesnya, gaya rambut yang mampu membuat gadis remaja kala itu mungkin tak bisa tidur nyenyak.
Kaset berisi 10 lagu itu kuputar pada radio tape National milik ayahku, kapan ada waktu. Kadang-kadang beliaw sendiri yang memutarkan. Tugasku cuma membeli baterai A1 di warung Bang Rajali kalau suara Bang Tommy sudah melenguh lemas kayak sapi lapar. Zaman itu belum ada listrik masuk kampung, kecuali tentara.
Berhubung baterai memiliki daya terbatas tentu harus dihemat-hemat. Berkat itu aku terpicu menghafal 10 lagu Bung Tommy di kaset itu. Walhasil, beberapa lagu sanggup kuhafalkan dengan irama yang menurutku sudah layak masuk dapur.
Di sekolah, ketika nongkrong bersama teman, kami kerap menyanyikan lagu-lagu Tommy. Dan pernah, ketika jam istirahat kosong, pernah seorang guruku di SMP, guru ekonomi, iseng menyuruhku bernyanyi di depan kelas. Tanpa gitar, tanpa musik pengiring, aku pun mendendangkan salah dua lagu Bung Tommy, termasuk Di Batas Kota Ini. Ya, hitung-hitung sebagai pelepas penat setelah kami mati-matian memahami pelajaran persamaan akuntansi, yang sebelas dua belas mengerikan layaknya matimatika.
Itu alasan kenapa lagu itu berbekas hingga sekarang. Tentu, saat itu aku tidak tahu Tommy J Pisa itu orang mana, bagaimana aksi panggungnya, seperti apa karier bermusiknya. Aku tak butuh semua itu karena yang kubutuhkan cuma suaranya. Jika aku ingin mendengarnya cukup memutar kasetnya. Modalku cuma “kuota” baterai ABC. Jika suara Tommy sudah mendayu, aku tak merasa berjarak. Seolah-olah ia ada di depanku. Kalau aku sudah merasa cukup, aku matikan tape lalu mengambil bantal dan tidur dengan pulasnya, karena lagu-lagu Tommy memang cocok didengar di malam-malam gelap. Besok pagi, aku menahan diri untuk mendengar Tommy lagi agar tidak boring. Jadi, kupasang kupingku baik-baik agar tidak berjoget ria karena suara Onasutra, Asep Irama hingga Meggy Z sudah mulai saling bersahutan dari rumah-rumah tetangga. Pagi waktunya ngopi, dan dangdutlah yang menemani.
Bagaimana, menyenangkan bukan menjadi anak Aceh yang punya pos serdadu di kampungnya? Memang tidak ada hubungannya, tapi berkat Tommy J Pisa dan penyanyi-penyanyi kaset lainnya, generasi muda saat itu, terutama yang di kampung, bisa memanjakan telinga sejenak; melarikan diri dari ketakutan-ketakutan duniawi yang dilakukan para pegiat DOM Aceh kala itu. Bung Tommy membuat kami melepaskan sejenak dari kegrogian bertemu orang berseragam. Memupus trauma yang mungkin bakal hinggap, atau membuat kami mampu menertawakan orang yang diarak keliling kampung dengan memakai baju berisi daun jelatang di badannya. Maka, terima kasih untuk Tommy J Pisa, juga kepada Onasutra, Iklim, atau penyanyi-penyanyi kaset di zaman itu. Tanpa kalian, kami cuma remah-remah rengginang di pos serdadu.