BNOW ~ Junta militer Myanmar yang kini menguasai Myanmar dengan cara curang makin buas menerapkan penanganan unjuk rasa menentang kudeta.
Dilansir Reuters, tujuh orang tewas di beberapa kota dan banyak demonstran terluka setelah polisi yang dibantu tentara menembaki para pengunjuk rasa pada Ahad, 28 Februari 2021.
Di Yangon, polisi melepaskan tembakan pada pagi hari di beberapa sudut kota setelah granat kejut, gas air mata, dan tembakan di udara gagal memecah kerumunan demonstrasi.
Beberapa orang yang terluka diangkut oleh sesama pengunjuk rasa, meninggalkan noda darah di trotoar. Seorang pria meninggal setelah dibawa ke rumah sakit dengan peluru di dadanya, kata seorang dokter yang meminta namanya tidak disebutkan.
Seorang wanita yang ikut dalam barisan demonstrasi para guru, meninggal karena serangan jantung. Diduga dipicu granat setrum yang dilemparkan polisi.
Walaupun aparat keamanan makin represif, hingga sore ratusan pengunjuk rasa menolak meninggalkan jalanan. Mereka bertahan dan mendirikan barikade sambil meneriakkan slogan serta menyanyikan lagu-lagu protes.
“Jika mereka menyerang kami, kami akan bertahan. Kami tidak akan pernah berlutut untuk sepatu bot militer,” ujar Nyan Win Shein, pendemo di Yangon.
Polisi juga melemparkan granat setrum di luar sekolah kedokteran Yangon. Aliansi medis Whitecoat mengatakan lebih dari 50 staf medis ditangkap.
Sejauh ini, Televisi MRTV yang dikelola pemerintah mengatakan lebih dari 470 orang ditangkap Sabtu lalu.
“Myanmar seperti medan perang,” tulis kardinal Katolik pertama di negara mayoritas Buddha itu, Charles Maung Bo, di Twitter.
Polisi juga melepaskan tembakan di kota Dawei di selatan, menewaskan tiga orang dan melukai beberapa lainnya. Sementara di kota Mandalay dua orang tewas dalam protes serupa Sabtu pekan lalu.
Unjuk rasa juga muncul di di kota-kota lain yang jauh dari ibu kota seperti Lashio di timur laut dan Myeik di selatan. Polisi dan juru bicara junta militer tidak menanggapi panggilan telepon konfirmasi.
Baca Juga: Facebook Hapus Halaman Utama Militer Myanmar
“Jelas sekali mereka mencoba menanamkan rasa takut pada kami dengan membuat kami lari dan bersembunyi. Kami tidak bisa menerima itu,” ujar aktivis pemuda Myanmar, Esther Ze Naw.
Pekan lalu, bos junta militer Min Aung Hlaing mengatakan aparat keamanan menggunakan kekuatan minimal dalam menangani unjuk rasa. Namun, setidaknya 10 pengunjuk rasa kini tewas, termasuk seorang polisi.
Tindakan keras tersebut mengindikasikan tekad militer untuk memaksakan otoritasnya dalam menghadapi pembangkangan sipil yang meluas. Tidak hanya di jalanan, protes ikut melibatkan para pegawai di layanan sipil, pemerintahan kota, peradilan, sektor pendidikan, dan kesehatan.
Sabtu lalu, Duta Besar Myanmar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kyaw Moe Tun, dipecat setelah dia mendesak lembaga tersebut menggunakan “segala cara yang diperlukan” untuk membalikkan kudeta. “Saya memutuskan untuk melawan selama saya bisa,” ujarnya setelah dipecat.
Myanmar dilanda kekacauan sejak militer secara pengecut merebut kekuasaan dan menahan pemimpin pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi 1 Februari lalu. Militer yang haus kuasa menuduh adanya kecurangan dalam pemilihan umum November yang dimenangkan partai Aung San Suu Kyi secara telak.
Kudeta kemudian menarik ratusan ribu orang ke jalanan. Protes terjadi di banyak kota dan banyak pengunjuk rasa bentrok dengan aparat hingga mengakibatkan korban berjatuhan.
Kecaman dan sanksi datang dari negara-negara Barat tetapi Min Aung Hlaing beserta gerombolannya tampak adem ayem. Mereka mengabaikan tekanan diplomatik bahkan mencari dukungan dari beberapa negara di Asia Tenggara.
Tak hanya itu, Junta militer Myanmar sudah berjanji akan menggelar pemilu baru tapi belum menetapkan tanggal. Rakyat Myanmar sepertinya masih harus merajut jalan lebih panjang lagi menuju demokrasi setelah hampir 50 tahun sebelumnya dibekap kekuasaan militer yang tamak dan korup.