Abeer al-Namrouti, 39 tahun, terpaku pada ponsel siang dan malam. Ia kerap tertidur dengan ponsel yang masih menyiarkan siaran berita di dekat kepalanya. “Saya akan terus mendengarkan [berita] sampai saya mendengar kata gencatan senjata,” ujarnya.
Ibu delapan anak ini meninggalkan Kota Al-Qarara di Khan Younis setelah amunisi Israel menghancurkan rumahnya. Serangan itu melukai Namrouti dan suaminya. Mereka harus menjalani perawatan berpekan-pekan lamanya. Hingga kini, suami Namrouti belum sembuh. Dari tenda yang mereka huni sekarang di kawasan Gaza tengah, Namrouti harus pergi ke Rumah Sakit Martir Al-Aqsa untuk mendapatkan obat suaminya lalu menyuntikkan lewat infus.
Namrouti berharap gencatan senjata kali ini tercapai. “[Perdana Menteri Israel Benjamin] Netanyahu menahan segala sesuatunya, setiap kali keadaan berubah dia memberikan hambatan. Namun kali ini saya lebih optimis dibandingkan masa lalu,” ujarnya.
Jika gencatan senjata tercapai, Namrouti akan membawa pulang keluarganya kembali ke Al-Qarara. “Kami memang tidak memiliki apa pun [bahkan] tenda di sana, tapi yang terpenting adalah kami berada di tanah milik kami. Saya akan kembali ke sana dan mendirikan tenda untuk tinggal.”
Wael el-Nabahin, 48 tahun, datang ke Deir el-Balah dari Bureij bersama keluarganya. Mereka mendirikan tenda yang sedikit berbeda dari kebanyakan. Di dalamnya ada televisi untuk menonton berita dan mesin cuci. “Saya ingin keluarga saya nyaman dan tidak hidup dalam bencana. Kami menonton berita sepanjang waktu untuk melihat apa yang terjadi,” ujar Nabahin kepada Al Jazeera.
Namun ayah empat anak ini skeptis terhadap kesepakatan gencatan senjata dalam waktu dekat. “Ada pembicaraan tentang gencatan senjata sebelumnya, namun sejauh ini tidak pernah terjadi,” ujarnya.
Tapi, jika kesepakatan tercapai, Nabahin juga bertekad kembali ke Bureij meskipun rumahnya telah dibakar. “Hal pertama yang kami lakukan adalah membawa tenda dan kembali ke rumah kami. Kami akan menyiapkannya di sana.”
Tetap Hidup adalah Sebuah Kemenangan
Sementara bagi Mahmoud el-Khatib, 55 tahun, tetap hidup untuk melihat perang berakhir akan menjadi hal yang sangat berarti. “Rumah saya telah hancur, tapi ini bukan tentang rumah atau mobil atau apa pun, ini lebih tentang bagaimana kita sekarang melihat bahwa bertahan hidup adalah sebuah kemenangan,” ujar Khatib.
Ayah delapan anak ini mengungsi dari Juhor ad-Dik. Mereka terpaksa berpindah-pindah antara Deir el-Balah dan Rafah di selatan dalam beberapa bulan terakhir. “Kami semua optimis akan ada gencatan senjata dan kami dapat kembali ke rumah, ke wilayah utara, ke tempat asal kami.”
Jika banyak orang rajin mengikuti berita dengan harapan tercapainya kesepakatan, Raed Abu Khousa berbeda. Pria 45 tahun ini enggan mengikuti perkembangan perang setiap hari karena berdampak buruk bagi mentalnya.
Ayah delapan anak ini mengungsi selama empat bulan terakhir dari Bureij setelah rumahnya rusak parah. Abu Khousa memiliki optimisme yang hati-hati mengenai kesepakatan gencatan senjata. “Saya tidak terlalu optimis, tapi rasanya kita semakin dekat dengan sesuatu. Dan jika kali ini tidak terjadi, kita semakin dekat dengan solusinya,” ujarnya.
“[Perang] Ini akan berakhir, perang dunia atau tidak, itu akan berakhir. Sebagai umat Islam, kami percaya bahwa Allah akan memberi kami kesuksesan, dan yang diminta dari kami adalah kami bersabar dan menantikan-Nya.”
Gencatan senjata menjadi kata pamungkas untuk menghentikan pertumpahan darah di Jalur Gaza. Serangan balas dendam Israel ke Gaza selama tujuh bulan terakhir menewaskan sedikitnya 34.683 orang dan melukai 78.018 lainnya.
Beberapa putaran perundingan gencatan senjata dalam beberapa bulan terakhir gagal mencapai jeda sementara, seperti pada November tahun lalu. Hamas menginginkan diakhirinya perang secara permanen dan jaminan bahwa Israel tidak akan menyerang Rafah, tempat perlindungan bagi hampir 1,5 juta warga Palestina. Dalam perundingan di Kairo, Israel menyetujui jeda pertempuran selama 40 hari saja. Mereka mengatakan akan terus menyerang Rafah terlepas dari tercapai atau tidaknya kesepakatan.
Louise Wateridge, juru bicara badan pengungsi PBB untuk Palestina, UNWRA, mengatakan gencatan senjata adalah tuntutan minimum warga Palestina yang lelah dengan perang. “Orang-orang di sini sangat lelah. Ada ketakutan yang terus-menerus, pengungsian yang terus-menerus. Satu-satunya harapan yang mereka miliki adalah gencatan senjata. Tidak peduli siapa Anda, perasaan yang ada di sini adalah kita memerlukan gencatan senjata segera.”