~ Sandang bedil plus berseragam, kelakuan aparat junta Myanmar melebihi geng kriminal
Pada malam 14 Maret 2021, seorang pria berusia 20-an sedang menunggu bus di halte dekat jembatan Bayintnaung, Yangon, ketika sebuah mobil berhenti. Seorang pria di dalam mobil menawarinya tumpangan.
Pemuda itu menolak tapi pria tersebut keluar dan mengancamnya dengan sebilah pisau. “Ikutlah dengan kami jika kamu tidak ingin mati.”
Ketika si pemuda masuk ke kursi belakang mobil, ia melihat ada orang lain di jok. Orang itu, seperti dia, diborgol. Belakangan, kain tudung hitam menutupi kepala keduanya.
Kedua “penumpang” kemudian dibawa ke kantor polisi dan dimasukkan ke sel tahanan. Keesokan hari, polisi menelepon keluarga pemuda itu dan menyuruh mereka mengirim tebusan 300.000 kyat (sekitar Rp2,7 juta) melalui aplikasi Wave Money.
Selama dalam tahanan, pria itu melihat empat pemuda lainnya dikeluarkan dari sel satu per satu, berbicara dengan keluarga mereka melalui telepon. Dia yakin mereka juga menjadi korban pemerasan polisi Myanmar.
Baca Juga: Mampukah Para Pemimpin Asean ‘Menggoyang’ Bos Junta Militer Myanmar?
Tiga bulan berkuasa dan melancarkan teror terhadap perlawanan kudeta, banyak anggota pasukan rezim junta—polisi dan tentara—terlibat kejahatan. Aparat junta Myanmar ini beroperasi melebihi aksi geng kriminal di tengah situasi tanpa hukum. Di seluruh negeri, tentara dan polisi mencuri dan merampok barang warga sipil secara terang-terangan. Mulai dari makanan, air, hingga barang-barang berharga.
Pada 26 Februari, pasukan militer junta menyita paratha–sejenis canai–dari seorang pedagang yang menjual roti pipih itu di warung pinggir jalan.
Video pencurian itu dibagikan di media sosial dan sontak memicu cemoohan. Selama berhari-hari kemudian, para pengunjuk rasa dengan mengejek meneriakkan, “Kembalikan paratha kami!” ke muka pasukan junta.
Pada 14 Maret, seorang sopir taksi di Kota Hlaing Tharyar Yangon dirampok ponselnya—benda yang kerap disita dari pengunjuk rasa. Sementara di Kota Twante, penduduk beberapa desa melaporkan pada 18 Maret tentara masuk ke rumah mereka dan merampok banyak barang.
Tidak hanya ponsel dan kamera tapi juga peralatan, uang tunai, emas dan perhiasan. Sebuah rumah bahkan kehilangan properti senilai 10 juta kyat.
Beberapa hari kemudian, pasukan menyerbu ke sebuah kantor di Hlaing, menyerang penghuninya, dan pergi membawa uang 700.000 kyat serta lima ponsel.
“Mereka muncul tiba-tiba dan meminta kami membuka pintu. Jika kami tidak melakukannya, mereka akan masuk begitu saja,” ujar seorang pegawai kantor berusia 28 tahun yang iPhone 12 miliknya dicuri dalam penggerebekan itu.
Menurut Htun Myat Aung, kapten tentara yang membelot Maret lalu dan bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil, perilaku kriminal seperti itu telah ada sejak lama. Salah satu faktornya, kata dia, korupsi yang mewabah di kantor-kantor pemerintah.
“Beberapa dari unit [pasukan] ini berada pada titik di mana mereka tidak dapat berfungsi tanpa sumber pendapatan ini. Kebiasaan mengambil kekayaan dari warga sipil sudah mengakar sangat dalam,” ujar bekas komandan peleton dari Divisi Infanteri Ringan 77 yang terkenal kejam.
Baca Juga: Revolusi Senyap Pekerja Myanmar, Melawan Junta Lewat Mogok Massal
Beberapa anggota pasukan, tambah dia, mungkin mencoba membenarkan tindakan itu sebagai masalah kebutuhan. “Faktanya, kebanyakan tentara didorong rasa berhak. Mereka hanya percaya, mengenakan seragam dan membawa senjata memberi mereka hak mengambil apa pun yang diinginkan dari warga sipil. Hal utama yang membedakannya [dari korupsi di kantor pemerintah], militer memiliki senjata. Jadi pada dasarnya [ini] perampokan bersenjata,” ujarnya kepada Myanmar Now.
Padahal, para tentara itu mendapatkan lebih dari cukup dari semua yang mereka butuhkan. “Ada ‘bos’ yang terkait dengan militer yang menyediakan bagi mereka. Mereka melakukannya hanya karena mereka bisa,” ujar pria berusia 30 tahun tersebut.
Tentara mencuri sejatinya tidaklah mengejutkan. Selama beberapa dekade sebelum kudeta, tentara diberi kebebasan menjarah desa-desa di daerah perbatasan etnis Myanmar.
Aktivis Kachin, Khon Ja, mengatakan kelakuan geng kriminal junta Myanmar mungkin mengejutkan penduduk kota. Namun, sebagian besar warga desa menganggapnya sebagai fakta kehidupan yang sederhana.
“Mereka mencuri dari kotak sumbangan gereja dan mengambil barang-barang pribadi orang. Mereka mengambil apa saja yang bisa mereka pegang. Kami sudah terbiasa dengan itu. Itu terjadi di setiap wilayah konflik,” ujarnya.
“Mereka dilatih seperti binatang untuk melakukan apa yang diperintahkan tanpa berpikir. Saya hanya bisa berasumsi itulah sebabnya mereka bertindak seperti itu,” tambahnya.
Tak seperti kebanyakan pejabat yang menyalahgunakan posisi demi keuntungan pribadi, tentara Myanmar sering kali dimotivasi oleh kekejaman seperti keinginan memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan orang lain.
Sejauh ini, pelanggaran paling mengerikan yang dilakukan militer Myanmar adalah tindakan genosida terhadap Rohingya dan etnis minoritas lainnya. Namun sekarang, situasi menjadi sama rata. Tidak ada yang aman dari tindakan sadis tentara terhadap penduduk sipil.
Baca Juga: Mengapa Junta Militer Myanmar belum Berhenti Meneror Rakyatnya?
Selain banyak kasus kekejaman terhadap pengunjuk rasa, ada juga contoh perlakuan kasar terhadap para pengamat serta perusakan properti pribadi secara sembarangan.
Bahkan di daerah perkotaan, yang tindakan mereka dapat dengan mudah tertangkap kamera CCTV atau disaksikan wartawan, tentara tampaknya tak mampu mengendalikan diri.
Pada 1 Maret, misalnya, tentara terlihat merusak rumah dan sepeda motor di Myeik, sebuah kota di wilayah Tanintharyi, Myanmar selatan. Tidak puas mencuri 400.000 kyat dari rumah penduduk, mereka juga memukuli seorang wanita hamil.
Lalu bulan ini, pasukan yang dikirim ke Kota Okkalapa menyita hampir 500 liter minyak goreng bantuan untuk pegawai publik yang berpartisipasi dalam Gerakan Pembangkangan Sipil, hanya demi merampas kebutuhan dasar pekerja miskin.
Dalam insiden serupa, pada 14 Maret pasukan junta mengambil ayam goreng yang sedianya bakal diberikan kepada lebih dari 80 siswa yang ditahan di penjara Insein Yangon.
Ada juga banyak kasus pasukan rezim menggunakan properti curian untuk melakukan kejahatan lainnya. Mobil dan sepeda motor sering kali diambil dari pemiliknya lalu digunakan untuk menindak pengunjuk rasa dengan kekerasan.
Namun, pemerasan tetap menjadi hobi populer di kalangan tentara dan polisi. Pada 10 April, seorang dokter gigi di Yangon dipaksa untuk membayar “denda” sekitar 120.000 kyat karena menawarkan jasa secara gratis kepada pasien yang membutuhkan.
“Kurangnya empati mereka cukup menjijikkan. Mereka tidak merahasiakan betapa jahatnya mereka,” ujar seorang mahasiswi Universitas Dagon.
Mahasiswi ini menilai, kelakuan kriminal itu bukti kalau junta hanya tahu bagaimana memerintah dengan rasa takut. “Para jenderal sendiri takut dengan apa yang akan terjadi jika mereka tidak berhasil meneror rakyat agar tunduk dan menghancurkan moral mereka.”
Juru bicara junta Myanmar Brigjen Zaw Min Htun tidak dapat dihubungi untuk diminta komentar tentang aksi-aksi anak buahnya yang melebihi geng kriminal. Dan sepertinya kegiatan ilegal itu akan terus berlanjut tanpa bisa dibendung.