BNOW ~ Pandemi corona kian memperburuk situasi di Jalur Gaza, Palestina. Wilayah tersebut kekurangan air, obat-obatan, dan mengalami krisis listrik yang parah. Penduduk hanya mendapat jatah listrik enam jam per hari.
Sejak 2007, Israel dan Mesir kompak melakukan blokade udara, darat, dan laut terhadap Gaza. Pandemi tidak menyurutkan niat kedua kolega itu untuk menyetop blokade. Tindakan tersebut makin memperburuk kesengsaraan Gaza.
“Orang-orang di Gaza sudah merasa cukup dalam hidup mereka, berpindah dari satu krisis ke krisis lain tanpa henti,” ujar Mahmoud Abu Samaan, karyawan di Kementerian Komunikasi yang dikelola Hamas.
“Anda tidak bisa memaksa orang untuk duduk di rumah tanpa listrik, makanan, atau uang. Ini blokade di dalam blokade.”
Jalur Gaza, daerah pesisir sepanjang 100 kilometer yang menjadi rumah bagi lebih dari 2,1 juta orang Palestina, salah satu wilayah terakhir di dunia yang dilanda covid-19.
Sejak dimulainya pandemi, Gaza mencatat lebih dari 36 ribu kasus dan 310 kematian. Virus menyebar cepat di daerah berpopulasi padat yang 70 persennya dihuni pengungsi di kamp-kamp penuh sesak.
Hamas yang menguasai wilayah itu menangguhkan salat Jumat di masjid, menutup restoran, aula pernikahan, dan melarang resepsi.
Karantina wilayah menyebabkan ribuan orang kehilangan pekerjaan. Dibanding sebelum pandemi, angka pengangguran naik lebih dari 50 persen.
Fasilitas Medis Kurang
Abu Samaan dan tiga anggota keluarganya dinyatakan positif corona tapi gejalanya ringan. “Saya sangat takut. Bukan virusnya tapi sistem kesehatan yang mengerikan di sini. Blokade yang sedang berlangsung telah menghancurkan hidup kami.”
Wafaa Abu Kwaik merasakan kondisi yang lebih miris. Guru bahasa Inggris ini terjangkit virus bersama suami dan kelima anaknya. Total 19 orang di keluarga besarnya jatuh sakit.
Namun, mereka tidak menerima perawatan memadai. “Kondisi ibu saya yang berusia 62 tahun memburuk karena hipertensi dan diabetesnya.” Ibunya pulih setelah menghabiskan 15 hari di unit perawatan intensif.
Namun, tambah Abu Kwaik, situasi sangat sulit. Rumah sakit menerima ratusan kasus per hari dan tidak punya cukup tempat tidur. “Staf medis tidak dapat menanganinya. Kebanyakan pasien memburuk bukan karena virus tapi akibat kurangnya fasilitas medis.”
Sebelum pandemi, blokade Israel dan Mesir telah membuat sistem pelayanan kesehatan di Gaza berada dalam keadaan mengerikan.
Abd al-Latif al-Hajj, direktur kerja sama internasional di Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas, mengatakan sistem pelayanan kesehatan di Gaza telah kewalahan selama bertahun-tahun akibat blokade dan tiga serangan militer Israel ke wilayah tersebut.
“Tahun ini ada kekurangan 47 persen pada obat-obatan, defisit 32 persen pada bahan medis, dan defisit 62 persen pada persediaan laboratorium medis. Ada juga kekurangan staf medis yang bekerja dengan kapasitas terbatas karena mereka tidak menerima gaji tetap.”
Wabah membuat situasi di rumah sakit Gaza berubah jadi bencana. Pasien penyakit kronis seperti jantung dan kanker tidak dapat meninggalkan Gaza untuk perawatan medis.
Di sisi lain, kata Al-Hajj, Israel yang telah mulai memvaksinasi warganya sendiri, mengabaikan tanggung jawab terhadap Jalur Gaza yang didudukinya. “Sayangnya, tidak ada yang bisa memaksa Israel untuk memenuhi kewajibannya terhadap Palestina.”
Minyak di Atas Api
Israel memblokade di Gaza sejak Juni 2007. Arus barang dan orang yang keluar masuk Gaza dibatasi setelah Hamas menguasai wilayah tersebut.
PBB menyerukan pengepungan Israel segera diakhiri. Lembaga ini menyebut blokade sebagai tindakan yang dilarang Konvensi Jenewa.
Sementara Mesir membatasi pergerakan warga Gaza di pintu perbatasan Rafah. Di sisi lain, perselisihan Hamas dengan Pemerintah Palestina yang mengatur Tepi Barat makin memperburuk situasi.
Pemerintah Palestina membatasi transfer keuangan ke Gaza, bahkan meminta Israel mengurangi pasokan listrik.
“Kami harus menemukan istilah baru untuk menggambarkan situasi di Gaza,” ujar Omar Shaban, analis politik yang berbasis di Gaza.
Delapan tahun lalu, kata Omar, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan Jalur Gaza tidak akan menjadi “tempat layak huni” pada 2020.
PBB mendesak Israel mencabut blokade dan menyerukan “upaya besar-besaran” untuk meningkatkan pelayanan dasar di sana.
“Kemudian datanglah perang tahun 2014 yang berlangsung selama 51 hari dan menghancurkan infrastruktur di Gaza, diikuti oleh beberapa eskalasi militer dan blokade ekonomi yang mencekik.”
Lalu pada 2020, lanjut Omar, virus corona datang untuk “menuangkan minyak ke atas api”.
Hentikan Pengepungan
April lalu, 19 kelompok pembela Hak Asasi Manusia atau HAM mendesak Israel menghentikan pengepungan di Gaza agar wilayah itu dapat melengkapi diri dengan persediaan medis memadai dalam menangani pandemi.
Azzam Shaath, peneliti hukum di Pusat HAM Palestina mengatakan Israel bertanggung jawab merawat warga Palestina yang tinggal di Gaza.
“Israel harus menanggapi kebutuhan darurat, menyediakan peralatan dan bantuan perawatan medis, dan menerapkan langkah-langkah untuk mencegah infeksi virus.”
Selain itu, Israel harus segera menghapus pembatasan pergerakan barang dan hambatan lain pada kegiatan ekonomi yang mengancam kesehatan masyarakat.
Dia meminta komunitas internasional menekan Israel agar mengakhiri blokade Gaza.
“Masyarakat internasional perlu memahami Gaza tidak dapat terus berlanjut seperti ini. Apa yang dunia saksikan tahun ini adalah apa yang orang-orang Gaza alami selama 14 tahun blokade Israel.”[]
Diperbarui pada ( 21 Maret 2024 )