Dinda semakin merasa sunyi. Dibukanya telepon. Mengirim pesan pada Abie dan Haidar. Pesannya hanya mendapat satu centang. Tanda belum diterima. Hari memang masih pagi. Tentunya Abie sedang di dalam kelas. Semua telepon wajib dimatikan dan dikumpulkan di kotak di meja Guru. Dinda menghela nafas panjang. Dadanya terasa berat. Tahu-tahu saja setetes air bergulir menuruni pipinya. Buru-buru Dinda menghapusnya. Ia tak ingin Ayah melihatnya.
Tepat pada saat itu Ayah dan Bang Tareq kembali, bersama Kepala Asrama dan seorang perempuan bertubuh subur. Perempuan itu tersenyum berseri-seri pada Dinda, yang setengah hati berusaha membalas tersenyum.
“Ini Adinda?” tanya perempuan itu, mengulurkan tangan. Agak ragu, Dinda menyambutnya. Dilihatnya Ayah menatapnya. Dinda tahu, ia diharapkan mencium tangan perempuan itu. Suatu tradisi yang tak disukai Dinda. Menurutnya kebiasaan itu tak sehat. Menyebarkan kuman dan virus ke mana-mana. Siapa yang bisa menjamin bahwa tangan orang yang diciumnya itu bersih? Kalau tangan Bunda atau Ayah, sih, lain.
Dengan enggan Dinda menempelkan punggung tangan perempuan tadi ke keningnya. Agak menceng sedikit, agar tertahan kain kerudung. Tidak langsung mengenai kulitnya.
“Aneuk meutuah,” perempuan itu berseri-seri. “Yuk, ikut Ustazah. Kita lihat kamarmu ya.”
“Ayo, Adek,” suruh Ayah pelan. Akhir-akhir ini suara Ayah bila bicara dengan Dinda selalu pelan dan halus. Seperti berusaha menjaga perasaan Dinda.
Malas-malasan, Dinda bangkit.
“Ayah sama Abang tunggu di sini ya, Dek,” kata Ayah. Dinda mengangguk. Saat melewati lorong-lorong menuju Ruang Tidur Asrama Putri, untuk pertama kalinya Dinda ingin sekali Ayah ada di sisinya. Menggenggam tangannya. Apalagi ketika mereka melewati gerbang dengan jerejak hijau memperkuat pintu kayu. Dinda merasa hatinya tenggelam dalam sekali. Seperti masuk penjara, pikirnya.
“Nah, ini kamarmu,” kata Ustazah Sofia. Perempuan ramah yang mengantarnya. Ternyata ia Wakil Kepala Asrama, bidang Asrama Putri. “Coba Ustazah cek…. Ya, tempat tidurmu nomor dua.” Ustazah Sofia membantu Dinda membawa travel bag-nya ke ranjang yang terletak di ujung ruangan, paling dekat ke jendela.
Sial, pikir Dinda. Bakal nggak bisa tidur nih…. Jendelanya gede banget. Seram.
Dinda punya phobia aneh, muncul bila malam telah tiba. Dia selalu merasa ada sesuatu yang mengawasinya dari jendela. Di rumah, dulu, Dinda memaksa Bunda memasang tiga lapis pertahanan di jendela kamarnya: sehelai tirai tipis, sehelai tirai biasa, dan…. Jalusi, alias daun jendela dari lempengan-lempengan sempit kayu yang dideretkan horizontal. Di rumah yang sekarang pun Ayah sudah meminta Paman Rustam memasang jalusi.
“Pakaian-pakaianmu silakan disusun di sini, ya,” Ustazah Sofia menunjuk lemari putih yang pegangannya hijau. Ada satu lemari macam itu, di setiap ujung ruangan. “Buku-buku dan barang-barang pribadi lain bisa ditaruh di dalam nakas. Tapi, di atas nakas hanya boleh ada tiga barang, ya neuk. Kalau lebih, nanti disita sama kakak Pengawas.”
“Hah? Pengawas?” Dinda kaget.
“Masing-masing kamar punya pengawas, dari kelas tinggi,” jelas Ustazah Sofia. “Pengawas kamarmu namanya Naura. Dia Kelas XII Al Kindi. Kamu Kelas X…” Ustazah Sofia melihat catatannya lagi. “O, Kelas X Piri Rais. Kelasnya Miss Ghialti.”
Dari Bang Tareq Dinda mendapat info bahwa di sekolah ini guru-guru asrama disebut “ustaz” dan “ustazah,” sementara guru-guru sekolah dipanggil “miss” dan “mister.” Di dalam kelas, siswa perempuan dan laki-laki dipisahkan deretan tempat duduknya. Dan siswa kelas tinggi tidak perlu berbagi kamar dengan tiga anak lain. Mereka menempati satu kamar berdua. Selain itu, ruang belajar mereka juga khusus. Tidak menyatu dengan kelas rendah.
Sok senior betul, pikir Dinda sebal. Kenapa sekolah pilih kasih seperti itu? Anak kelas rendah kan juga perlu ketenangan untuk bisa belajar dengan baik!
Dinda memasukkan tas-tasnya ke lemari nomor dua. Lemari itu berkunci. Bagus, pikir Dinda. Ada privasi juga di sini.
Ustazah Sofia memperhatikannya memasukkan tas-tas dan koper gitar, lalu mendeham. Dinda memandangnya.
“Kamu membawa gamis dan kerudung putih? Kalau salat jamaah dan tadarus tiap selesai salat Maghrib, kita harus pakai gamis dan kerudung putih,” kata Ustazah Sofia. Dinda berpikir sebentar. Ia tak yakin ia memiliki gaun panjang putih. Dibayangkannya dirinya mengenakan gaun macam itu, di malam hari, di asrama yang besar ini. Kayak kuntilanak, Dinda bergidik.
“Pastinya mamak sudah memasukkannya ke tasmu. Coba periksa,” kata Ustazah Sofia riang. “Soalnya dalam daftar barang-barang yang harus dibawa, ada tercantum gamis dan kerudung putih.”
“Mamak sudah meninggal, Ustazah,” tukas Dinda. Ustazah Sofia spontan menutup mulut dengan sebelah tangan.
“Astaghfirullah… Maaf neuk….” katanya.
“Nggak apa-apa,” sahut Dinda. Tapi tenggorokannya langsung terasa pedih. Kalau Bunda masih ada, pasti dia takkan membiarkan Ayah menempatkan Dinda di sekolah seram ini.
Dinda mengeluarkan kembali tasnya dari lemari. Dibukanya. Ternyata di bagian paling atas terlipat rapi dua helai gaun panjang putih dan dua kerudung putih juga. Di bawahnya bertumpuk beberapa gaun dan kerudung lain. Semuanya baru. Dinda tak tahu kapan Ayah membelinya. Mungkin waktu di Bukittinggi, pikir Dinda. Sesaat mendadak ia sangat ingin memeluk Ayah. Dinda tak tahu bahwa Ayah ternyata begitu memperhatikannya, dan mau berkorban untuknya. Ayah yang selamanya selalu tampak serius dan berwibawa itu ternyata tak segan berbelanja pakaian untuk anak perempuannya satu-satunya.
“Nah, itu ada, kan?” Ustazah Sofia tersenyum. Perempuan ramah itu agaknya tak pernah marah. “Digantung saja sekarang, jadi Magrib nanti tinggal pakai,” sarannya. Setengah hati Dinda melakukannya. Selain kedua gamis putih dan gaun-gaun panjang itu Dinda menemukan sehelai outer kaus rajutan warna magenta dan setelan blus-celana yang serasi. Warna kesukaannya. Dinda meraba outer itu, tak percaya pada matanya. Astaga. Ayah membeli ini??
“Manis sekali warnanya. Modelnya juga cakep,” puji Ustazah Sofia. Tak sadar, Dinda tersenyum lebar.
“Iya, ini warna kesukaan saya, Ustazah,” katanya.
“Cocok untukmu,” komentar Ustazah Sofia. “Sudah selesai beberes? Ayo, sekarang kita ke Kantor lagi. Ada beberapa hal yang harus kita urus.”
Dinda mengikuti Ustazah Sofia kembali ke Kantor Kepala Asrama. Ayah dan Bang Tareq masih duduk mengobrol dengan Kepala Asrama, Ustaz Nazli, di selingkar kursi tetamu ketika Dinda tiba. Ustazah Sofia membawa Dinda ke meja di satu sudut ruangan. Ada sebuah komputer dan pot tanaman sanvieira di atas meja itu. Agaknya itu meja kerja Ustazah Sofia, karena ia duduk di sana dan langsung membuka komputer.
Ia lantas sibuk klak-klik, membuka-buka beberapa file, dan mencetaknya. Setelah selesai ia berdiri, membuka sebuah lemari kabinet dan mengeluarkan setumpuk buku. Buku-buku dan kertas-kertas yang baru diprintnya tadi itu diberikannya pada Dinda.
“Nah,” katanya, “Ini jadwal kegiatan dan buku-buku yang dipakai untuk program Asrama,” Ustazah Sofia mengetuk tumpukan buku. “Buku doa sehari-hari, tata cara salat sunnah, kumpulan Kultum….”
Dinda memperhatikan buku-buku itu. Ada lima. Waduh. Apa itu berarti dia bakalan tidak bisa bernapas, karena kegiatan di Asrama sangat padat??
“Euh… Ustazah…?”
“Ya?”
“Jadwal kegiatan Asrama apa saja?”
Mendengar kata-kata Dinda, Ayah langsung bangkit mendekat. Duduk di sampingnya. Ustazah Sofia tersenyum padanya.
“Itu ada Ustazah print jadwalnya untukmu, neuk,” kata Ustadzah Sofia. Tangannya cekatan memilah-milah kertas-kertas yang tadi diberikannya pada Dinda. Ditariknya selembar, disodorkannya.
“Nah, ini. Silakan dilihat.”
Dinda memegang kertas itu dengan dua tangan. Takut-takut mengintai. Sebab tabel di kertas itu tampaknya panjang sekali. Mengerikan. Ayah ikut membaca melalui bahu Dinda.
Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Keempat
Kegiatan Asrama dimulai sebelum Subuh. Mandi, lalu siswa diharuskan ibadah bersama di Masjid Sekolah. Dilanjutkan ‘setoran ayat’ sampai pukul enam. Kemudian sarapan di Ruang Makan, dan pukul tujuh lewat lima belas menit sudah harus meninggalkan Asrama menuju Sekolah. Dinda yang gemar tidur kembali selepas subuh, langsung cemberut. Sebab udara dingin subuh sangat nikmat dipakai mendekap guling.
“Ustazah…‘setoran ayat’ ini apa?” tanya Dinda. Dalam hati merencanakan untuk tidak mengikuti kegiatan itu.
“O, itu kegiatan tahfiz. Masing-masing siswa menghafal beberapa ayat sesuai kemampuannya, lalu setiap hari melapor pada Ustazah untuk didengarkan dan dicatat,” jelas Ustazah Sofia.
“Kalau tidak ikut, konsekuensinya apa Ustazah?”
(Bersambung ke Bagian Keenam)
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )