BNOW ~ Film dokumenter Seaspiracy garapan filmmaker Inggris Ali Tabrizi masuk jajaran 10 besar Netflix sejak dirilis 24 Maret lalu. Film ini secara umum menggambarkan kesalahan dalam perikanan modern yang melibatkan korporasi-korporasi kakap.
Tabrizi juga menyelipkan porsi “kecil” fenomena pembantaian paus di Jepang dan Kepulauan Faroe, serta pembudakan di atas kapal penangkap ikan.
Namun, seiring banyaknya pujian yang datang, muncul juga reaksi sebaliknya. Banyak orang yang diwawancarai untuk film tersebut merasa kutipan mereka diambil di luar konteks. Sementara ilmuwan menyebut banyaknya pernyataan berlebihan dan kesalahan tidak jelas dari dokumenter tersebut.
Salah seorang ilmuwan tersebut adalah Bryce D. Stewart. “Apakah [dokumenter] ini menyoroti sejumlah masalah yang mengejutkan dan penting? Benar. Tetapi apakah [dokumenter] itu menyesatkan pada saat yang sama? Ya, dari beberapa menit pertama dan seterusnya. [Film] Ini secara teratur membesar-besarkan dan membuat tautan di tempat yang tidak semestinya,” tulis Stewart di Twitter.
Stewart ahli ekologi kelautan dan biologi perikanan di University of York di Inggris. Dia menghabiskan 20 tahun meneliti pengelolaan perikanan dan kawasan lindung laut.
“Kesalahan terbesar [film dokumenter Seaspiracy] adalah mengatakan perikanan berkelanjutan tidak ada. Ini seperti mengatakan bahwa pertanian berkelanjutan tidak ada,” tulis Stewart kepada Inverse melalui email.
Semua sistem produksi pangan, kata Stewart, berdampak pada alam. Namun, tambah dia, perikanan berkelanjutan memang ada. Menurut perhitungan terbaru Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, hampir dua pertiga dari stok ikan dunia dipanen secara berkelanjutan, sekitar 65,8 persen. Selain itu, 78,7 persen hasil perikanan laut berasal dari stok yang berkelanjutan secara biologis.
“Namun, ini tidak berarti tidak ada masalah; sekitar 34 persen dari stok ikan sekarang ditangkap secara berlebihan dan proporsi ini telah meningkat dari hanya 10 persen pada 1990,” ungkap Stewart.
Baca Juga: Jerapah Putih Terakhir di Dunia Dipasangkan Alat Pelacak
Seaspiracy tak sepenuhnya salah, kata Stewart. Film tersebut tepat ketika menyoroti penangkapan ikan secara berlebihan sebagai ancaman terbesar keanekaragaman hayati laut saat ini.
“[Fakta] Ini diterima para ilmuwan dan buktinya sangat kuat. Penangkapan ikan berlebihan sering kali [tidak hanya] didorong oleh keserakahan dan keinginan memaksimalkan keuntungan, tetapi juga didorong oleh ketidaksetaraan, kemiskinan, dan manajemen yang buruk, yang membuat orang hanya memiliki sedikit pilihan lain,” ujarnya.
Penangkapan ikan secara berlebihan, kata dia, berhubungan dengan banyak ancaman lain terhadap laut seperti perubahan iklim, pengasaman laut, dan polusi. “Semua ancaman ini perlu ditangani secara bersamaan, tidak efektif jika ditangani secara terpisah.”
Namun, kata Stewart, Seaspiracy harusnya jauh lebih akurat secara ilmiah karena banyak pernyataan yang dimuat berdasarkan studi yang ketinggalan zaman dan terkadang disunting. “Sementara masalah lain terlalu dibesar-besarkan. Kesalahan ini memudahkan para pembuat keputusan, misalnya pemerintah, mengabaikan pesan dalam film tersebut.”
Selain itu, keragaman pandangan karena hampir semua yang diwawancarai Tabrizi adalah orang berkulit putih dari dunia barat. “Kita perlu mendengar [pendapat] dari berbagai etnis dan budaya. Hampir tidak ada ilmuwan perikanan yang diwawancarai; kelalaian utama dalam film tentang penangkapan ikan berlebihan.”
Stewart juga menyinggung pesan dalam film dokumenter Seaspiracy yang mengajak orang berhenti makan ikan. “Jika orang ingin berhenti makan ikan, apa pun alasannya, tidak apa-apa, itu pilihan pribadi. Tapi itu sama sekali tidak perlu. Lebih dari tiga miliar orang mendapatkan 20 persen protein dari makanan akuatik. Ditambah lagi, lebih dari 60 juta orang bekerja di bidang perikanan dan akuakultur.”
Di banyak negara pulau dan wilayah pesisir, kata Stewart, hanya tersedia sedikit pilihan nutrisi selain dari ikan. Penangkapan ikan juga bagian integral dari budaya di banyak tempat dan negara. “Ini tidak hanya terjadi di [bumi bagian] Selatan. Ambil contoh Islandia, yang penangkapan ikannya menghasilkan sekitar 25 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto) mereka, atau Inggris, di mana ikan dan keripik dianggap sebagai hidangan nasional.”
Baca Juga: Jalan-jalan di Pantai, Gadis 4 Tahun Temukan Jejak Dinosaurus
Berbeda dengan Tabrizi, Stewart yakin perikanan berkelanjutan itu mungkin. Jika manusia sepenuhnya beralih ke daratan untuk mendapatkan nutrisi yang kini diperoleh dari laut, akan membawa bencana lebih besar bagi lingkungan di darat. “Soal jejak karbon, sistem perikanan dan budidaya yang dikelola dengan baik sebenarnya berdampak jauh lebih rendah daripada banyak sistem produksi pangan lainnya.”
Namun, kata Stewart, ikan budidaya bukan satu-satunya solusi dalam memberi makan populasi dunia yang terus bertambah. Akuakultur kini menyediakan sekitar setengah dari semua ikan atau makanan laut di dunia. “Bahkan dengan pengelolaan perikanan yang lebih baik, kita tidak mungkin dapat menghasilkan lebih banyak makanan laut secara berkelanjutan dari perikanan tangkap liar.
Stewart menilai perlu dibuat film dokumenter “tandingan” untuk menanggapi Seaspiracy. Dia mencontohkan End of the Line yang diproduksi pada 2009 jauh lebih informatif dan menyatukan informasi dengan cermat.
Film lain yang jauh lebih akurat secara ilmiah dan seimbang, contoh Stewart, Troubled Waters. “[Film] Ini dibuat sebagai proyek siswa oleh mantan murid saya, Matthew Judge, hampir tanpa anggaran. Tapi [film] itu dengan rapi menyoroti masalah dan kabar baik serta menunjukkan bagaimana tindakan individu dapat membuat perbedaan.”[]
Diperbarui pada ( 13 Maret 2024 )