~ Akankah lagu ini bakal mendunia? Siapkan tisumu Breeders …
Lon peurateb lon daidi
Dalam ayoen teupet mata
Teuka geumpa uroe Minggu
Tsunami Tuhan bri bala
Lirik di bait pertama lagu ini jelas bercerita tentang tsunami. Jelas maksudnya untuk orang Aceh yang paham bahasa Aceh. Atau orang bukan Aceh tapi paham bahasa Aceh.
Dari menit ke menit lagu, vokal Dek Icha, biduan lagu yang bernama asli Lailissa’adah tersebut, mampu membuat mata berkaca-kaca. Setidaknya, untuk mengenang kembali tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. Lagu ini bercerita tentang seorang ibu yang kehilangan anaknya ketika tsunami.
Bagi yang tidak paham bahasa Aceh, di video klip lagu tersaji teks bahasa Indonesia. Namun, yang bikin lagu ini agak istimewa menurut kami yang terbiasa mendengar koplo, ada lirik bahasa Inggris di dalamnya. Jadi, lagu ini sengaja disuguhkan dalam dua bahasa dunia: Aceh dan Inggris.
Lagu tersebut dirilis oleh D2X Management di kanal YouTube mereka sejak 25 Desember 2018. Hingga 26 Desember sore, lagu tersebut telah 19.708x ditonton, disukai 1,3 orang, tidak disukai 8 orang, sisanya abstain.
“Melantunkan lagu Tsunami ini menjadi sebuah kebanggaan bagi Icha. Apalagi Icha baru dalam dunia tarik suara,” ujar Dek Icha, penyanyi kelahiran Langsa 9 Juni 1993 ini. Sebelumnya, Icha sukses merilis dua lagu lewat album Istikharah Cinta.
Mahasiswi Magister Ilmu Kebencanaan Unsyiah Banda Aceh ini mengatakan isi lagu juga berkaitan dengan jurusan pendidikannya saat ini. “Lagu ini tidak jauh beda dengan lagu sebelumnya, Ayon Aneuk dan Istikharah Cinta. Benar-benar menjadi inspirasi dan renungan buat kita bersama.”
Setelah merenung kata-kata Dek Icha, Breedie mewawancarai beberapa pihak yang bertanggung jawab melahirkan lagu tersebut. Sekadar untuk mengonfirmasi benarkah itu semua? Sekaligus juga membongkar cerita di balik lagu ini.
Yang pertama diwawancara adalah Manajer D2X Management Dedex Suryadi. Dia biasa juga dipanggil Om Dex. Walaupun disapa Om, orangnya belum tua-tua kali. Om Dex diwawancarai lewat WhatsApp.
Proses melahirkan lagu tersebut mencapai dua bulan lebih. Om Dex merancangnya bersama seorang kawannya, Andi Irawan. Sebenarnya, kata Om Dex, sudah setahun ia mencoba menggarap lagu semacam itu. Namun, selalu terkendala soal lirik.
Ketimbang mumang terus, ia pun pulang ke Bireuen dan berkonsultasi dengan seorang musisi di sana. Namanya Razali Usman. Pak Razali menyodorkan sebuah lagu yang pernah diciptakannya. Lirik dan judulnya persis sama seperti lagu yang dinyanyikan Icha.
Lagu ciptaan Pak Razali pernah dibawakan oleh penyanyi bernama Leni Marlina sekitar 12 tahun lalu. Leni penyanyi lagu-lagu Aceh yang berasal Matang Glumpangdua.
Setelah mendapatkan izin memakai lirik tersebut, Om Dex pun menggubah total nuansa musiknya. Dia mempercayakan aransemen lagu kepada Nizar 41 dan Angga Eka Karina. Aransemen digarap di 41 Studio, Bireuen.
“Setelah itu, saya berpikir, kata tsunami adalah bahasa dunia. Saya mencoba untuk mengubah lirik tersebut ke bahasa Inggris. Di situ awalnya saya sharing sama Andi Irawan,” ujar Om Dex.
Untuk mencari penerjemah lirik ke bahasa Inggris, Andi pun merekomendasikan Dian Guci, translator cum penulis Breedie. Lalu, lirik diterjemahkan dengan memakai “Hukum Pupuh”. Kak Dian bukan asli Aceh. Beliau orang Sunda. Jadi, cara menerjemahkannya memakai gaya Sunda. “Baca dulu versi Acehnya, dibayangkan dulu,” ujarnya.
Di Pasundan ada jenis lagu yang nadanya sudah baku, tapi teksnya boleh diubah-ubah asal sesuai dengan “jiwa” lagu yang sudah ditentukan. “Namanya “Pupuh”,” ujar Kak Dian.
Misalnya, Pupuh Kinanti. Teksnya kalimat pertama harus delapan suku kata diakhiri rima “u”. “Misalnya “budak leutik bisa ngapung”, boleh diganti dengan “di Blangpidie ada gunung”. “Jiwa”nya Pupuh Kinanti itu “sabar menunggu”. Jadi isi lagu sebaiknya tentang menunggu, atau sabar dan sebagainya,” ujarnya. Berdasarkan “Hukum Pupuh” itulah lagu tsunami tadi diterjemahkan supaya pas dengan nadanya.
Awalnya, Kak Dian agak “goyang” menerjemahkan lagu tersebut setelah diberikan teks berisi lirik bahasa Aceh. Untunglah, karena sudah lama tinggal di Aceh, sudah banyak kosakata bahasa endatu yang diketahuinya. Walaupun kalau berbicara tentu masih berlepotan.
Setelah menghayati betul, dia bisa merasakan dan memahami lirik lagu. “Kenangan seorang ibu muda yang kehilangan anak dalam ayunan. Merasa bersalah karena nggak berhasil mempertahankan bayinya. Bertanya pada Tuhan, apakah semua ini salahnya? Kurang lebih begitu.”
Sementara untuk penerjemah ke dalam bahasa Indonesia, Om Dex meminta bantuan Iskandar Norman. “Keduanya [Dian Guci dan Iskandar Norman] sangat kuat dalam sastra.”
Supaya terlihat berimbang padahal tidak, Breedie juga mewawancarai Iskandar Norman. Menurut Bang Is, sapaan akrab Iskandar Norman, terjemahan yang dibuatnya versi bebas. “Kalau terjemahan untuk lagu nggak bisa tersurat karena ada makna tersirat yang harus disesuaikan dengan lirik.”
Bang Is menambahkan, “Kalau untuk lagu seharusnya dipoles lagi, tanpa menghilangkan makna. Itu masih terjemahan bebas.”
Selain orang-orang yang namanya dipanggil Kak, Pak, dan Bang di atas tadi, Om Dex juga melibatkan beberapa budayawan lain yang namanya tidak kami ketahui. “Lagu ini sebagai bentuk edukasi kepada kita semua, terutama di Aceh yang mengalami musibah saat itu. Lagu ini bukanlah untuk membuka memori luka lama, melainkan untuk memberi semangat baru.”
Om Dex berharap lagu tersebut dapat diterima semua kalangan. Termasuk orang asing.
I have no power, just sat and prayed
Was it my fault, was it my sin
Please lord, forgive us for what we’d done
Save us no tears, disaster no more
Oke Breeders, masih basahkah tisumu?
Diperbarui pada ( 25 Mei 2024 )
3 thoughts on “Cerita di Balik Lagu Tsunami yang Memakai Bahasa Aceh dan Inggris”