Di kampung kelahiran saya Matangglumpangdua, Meunasah Timu, air tanah sangat melimpah. Sumur warga betul-betul menjadi sumber air bersih yang mampu membuat usaha toge (or tauge) tumbuh subur.
Ya. Syarat utama produksi toge adalah sumber air yang bersih. Toge atau kecambah ini merupakan bahan pangan dan digolongkan sebagai sayur-sayuran. Toge merupakan bahan campuran utama mi Aceh.
Tak heran, kampung Meunasah Timu adalah sentral usaha produksi toge terbaik yang disuplai hingga ke Pereulak, Aceh Timur.
Ibu-ibu yang berbelanja toge di Pasar Inpres Lhokseumawe, ketahuilah: toge yang Ibu-ibu bawa pulang ke rumah dan dimasak tumis itu, adalah hasil produksi toge dari kampung kelahiran saya.
Bukan maksud saya berbangga diri tapi itu cuma intro semata. Di sini saya tidak akan membahas soal toge-toge itu. Di lain waktu dan kesempatan akan saya tulis soal sejarah bisnis toge di Desa Meunasah Timu yang lebih dulu bersistem kelurahan di Kecamatan Peusangan.
Entah kenapa saya ingin sekali membahas air. Mungkin saja ada hubungannya dengan Hari Air Sedunia yang diperingati saban tanggal 22 Maret.
Terlepas daripada itu, saya yakin, teman-teman sekampung halaman saya bahkan keluarga saya sendiri tidak pernah mempersoalkan air. Yang artinya, air tidak pernah menjadi sumber konflik di kampung saya. Bahkan, air pula, tepatnya sumur-sumur, yang mempererat pertetanggaan antar-keluarga.
Paling hanya air sawah yang agak ribet urusannya. Kapan dibuka dan ditutup keran irigasi Daerah Aliran Sungai atau DAS Peusangan untuk persawahan. Tapi itu pun tidak bikin tegang urat leher karena kearifan lokal dengan saling menghargai satu sama lain, terus dipegang hingga kini.
Maka, selebihnya tidak ada yang menarik bila saya membahas soal air di kampung kelahiran saya itu.
Saya juga yakin, alasan orang kampung saya tidak suka membahas air karena semenjak lahir hingga dewasa air bersih melimpah. Mau musim apapun, bahkan kemarau panjang sekalipun, air tetap bisa ditimba dari sumur. Disedot bergalon-galon pun, air tidak bakal kering.
Alasan lain, seperti dalam pikiran saya dulu, karena terlena dengan kualitas air yang sangat bersih dan jernih, jadi lupa dan menganggap air sumur di rumah sama saja seperti di kampung lain.
Ternyata tidak. Makin ke Utara Desa Meunasah Timu, air sumurnya sedikit agak payau. Terus makin dekat laut, sudah dipastikan air sumur mulai keasinan.
Kalau ke Selatan, air sumurnya sedikit lagang (kekuningan). Mungkin sumber mata air sumurnya dipengaruhi tanah lempung.
Di wilayah Peusangan Selatan, warga menggali sumur cukup dalam hingga butuh lebih dari belasan cincin sumur.
Beda dengan Di Meunasah Timu, tidak sampai delapan cincin sumur sudah ketemu mata air berpasir. Setelah selesai digali, airnya jernih dan langsung mengisi setengah kedalaman sumur.
Dulu sebelum teknologi pompa air masuk ke rumah-rumah warga, kegiatan mandi cukup dengan menimba.
Tidak perlu katrol, cukup timba saja karena sumurnya dangkal. Aktivitas mandi berubah seperti sebuah ritual buang-buang air.
Pernah Mak saya protes, “Aleh kiban cara di manoe, ie disiram u likot ulee (Entah gimana mandinya, air disiram ke belakang kepala).”
Karena melimpah air jernih dan segar, saya, Abang saya dan beberapa kawan sepermandian sehabis main kejar-kejaran, menjadikan kebisaan mandi untuk “membuang-buang” air.
Start siraman pertama, brum…brum…brum…dengan cepat. Setelah sampo dan sabunan baru pelan-pelan siramnya.
“Sep trep dimano, nyoe hana abeh ie saboh dua neuk meujeng, hana puah (lama kali mandinya, kalau nggak habis air satu dua cincin, nggak puas),” protes Ma Cut, tetangga saya. Anak bujang lapuk Ma Cut sering kena semprot Maknya karena suka mandi saat injury time menjelang magrib.
Perhatikan kata larangan Ma Cut, “sep trep dimano“, bukan melarang mandi takut kehabisan air, tapi waktu mandi mepet magrib, banyak anggota keluarga lain mengantri masuk sumur.
Begitulah Bree, setiap sore sehabis main pong kejar-kejaran, main kandang, kasti dan lempar gambar dengan sandal, kami numpang mandi di sumur terbuka Ma Cut tadi yang dipakai beberapa keluarga besarnya.
Sumurnya dikelilingi tembok terbuka. Tampa atap, tak berdaun pintu. Sebagian lantai semennya pecah dan menggenang air bekasan mandi. Kalau lantai sobek itu dipijak bunyinya pluff…pluff…pluff!
Air sumur Ma Cut, juga seperti sumur-sumur lain di desa kami, mutunya terjamin. Kalau haus sekali, bisa langsung timba dan tenggak sampai kembung. Tak perlu dimasak. Kalaupun ada bakteri-bakteri di air yang nyasar ke perut, para mikroorganisme bersel “uno” itu bakal tepar setibanya di haleukom alias tenggorokan
Bukan sok kuat. Tapi kami tidak pernah sakit perut apalagi diare. Airnya cukup bersih, jernih dan sangat menyegarkan. Memang tidak “semanis” minum kemasan yang katanya ada manis-manisnya itu. Tapi kalau adu kuat, saya yakin, minuman pabrik itu pasti kalah.
Itu dulu, entah sekarang. Pertumbuhan rumah begitu padat. Jarak sumur dengan safety tank atau septic tank pun kian “intim”. Sebuah situasi yang katanya berpengaruh pada kualitas air sumur.
Saya sering membayangkan air sumur itu pas hijrah dan kerja ke Banda Aceh. Pasalnya, air sumur di kota Banda Aceh yang dekat dengan laut, tidak begitu bagus, sedikit asin, kadang lagang.
Walaupun tidak semuanya. Ada juga sumber air sumur di Banda Aceh yang sangat bersih dan bebas bau. Contohnya, sumur rumah Apalet (paman) saya di Desa Kajhu, tepatnya lorong pertanian.
Di rumahnya, Apalet punya dua sumur, di dalam dan luar rumah. Entah apa maksudnya menggali dua sumur. Tapi selama saya tinggal beberapa bulan di sana, beberapa warga dan tetangga sering mengambil air bersih dari sumur luar.
Secara geografis, Kajhu memang di pinggir laut, tapi sumur Apalet airnya sangat bagus. Sayang setelah tragedi tsunami, rumah Apalet hanya bersisa lantai keramik saja. Sementara dua sumurnya rata tanah.
Setelah tsunami, saya sering berpindah-pindah rumah kos. Di Desa Lamglumpang dan Lambhuk, air sumur agak berkabut dan sedikit bau payau. Di salah satu rumah kos Gampong Ie Masen Kaye Adang, kualitas air sumur sama seperti nama kampung itu sendiri. Kalau tidak terasa asin, ya bau payau.
Setelah berkeluarga, rumah terakhir dan terlama saya ngekos di Banda Aceh adalah di Desa Punge Jurong, tepatnya di ujung Gang PMI. Di rumah bantuan tsunami tipe 36 yang disewakan itu juga terdapat satu sumur di luar rumah untuk kebutuhan dua rumah.
Kualitas airnya lumayan bersih walaupun agak berkabut. Rasanya tawar tapi masih diselingi bau payau karena dasar lokasi pemukiman adalah rawa pinggir laut.
Untuk kebutuhan air khususan pembersihan seperti mandi, cuci piring dan cuci baju masih bisa pakai air sumur. Sedangkan untuk kebutuhan air minum, terpaksa mengandalkan air galon isi ulang. Tapi untuk kebutuhan masak, stok air bersih sangat bergantung pada saluran air PAM milik Perumdam Tirta Daroy.
Saat itulah saya mulai merasakan kesulitan air bersih bila saluran PAM Banda Aceh sering macet. Air baru lancar masuk ke bak penambungan jam 10 malam ke atas. Jadi, bertambah pula satu task sebelum tidur bobo malam: melakukan ritual tampung air ke bak mandi, dan ke gentong untuk air masak.
Yang sering melakukan ritual tampung air biasa istri saya. Task ini sudah menjadi kebiasan hidupnya, yang memang sejak dari kecil ia sudah terbiasa hidup kekurangan air bersih.
Sesekali ritual menunggu air PAM masuk dibebankan ke saya seperti melakukan pekerjaan yang berat. Padahal cuma tunggu saja sambil update status facebook via Blackberry. Mungkin karena selama hidup saya, kalau butuh air tinggal timba saja di sumur, atau cukup putar cerat pancuran. Mau menghabiskan air untuk menyiram raga bolong tempat tumbuh tauge, oke-oke saja. Atau, mau siram jalan berdebu, monggo.
“Kemewahan” itu tak saya temukan di Banda Aceh. Maka, ketika saya mencoba memangkas waktu dengan menyedot memakai mesin Sanyo–aslinya pompa Shimizu–air ledeng milik jawatan pemerintah yang masih beraroma kaporit itu sering macet. Yang naik bukan air tapi emosi. Maka tak heran bila di masa pemerintahan Ibu Wali Kota Banda Aceh, beranda Facebook warga Kutaraja penuh hujatan terhadap PDAM.
Hmmm…entah dengan sekarang, apakah air PDAM Tirta Daroy masih macet? Apalagi setelah kolam Mata Ie mengalami kekeringan.
Ritual Menampung Air Hujan di Gayo
Lain lubuk, lain pemancing. Lain padang lain pula sumurnya. Di Gayo, sumber utama air bersih berasal dari mata air pegunungan. Untuk sampai ke rumah warga, air disalurkan melalui pipa yang sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia.
Berarti kualitas airnya sangat segar, jernih, bersih dan dingin, dong?
Kalau jernih dan dingin, iya. Tapi untuk kualitas air belum tentu. Kapan-kapan akan saya ceritakan bahwa kulitas air tanah di dataran tinggi Aceh tidak bagus lagi.
Oya, tidak semua kampung mendapat berkah air gratis melimpah dari sumber mata air pegunungan. Ada juga kampung yang berada di kaki pegunungan Al-Kahfi, tidak memiliki sumber mata airnya, atau di-support dari sumber mata air kampung sebelah.
Itulah kampung kelahiran istri saya. Jamur Uluh. Tanahnya sangat subur, penghasil biji kopi Arabika terbaik.
Untuk kebutuhan air bersih sehari-hari, warga menampung air hujan di bak penampungan yang berukuran jumbo. Seberapa besar baknya? Bayangkan saja volume kamar rumah tipe 36, masih kalah besar sama bak penampungan air di kampung itu.
Dulu, saat program PNPM tidak masuk ke kampung itu, warga meripe-ripe sumbang uang dan urum-urum bergotong royong pemdem pipa rucika 3/4 inci menuju ke kampung sebelah yang ada sumber mata airnya.
Kenapa saya tahu proyek ini? Karena saya salah satu yang ikut menggali lubang selebar dan sedalam mata canggul di pinggir jalan hingga menembus kebun kebun kopi orang.
Akhirnya, warga kampung di sana sudah bisa merdeka dari konsumsi air hujan dari bak penampungan. Tapi masa-masa indah masuknya air bersih pegunungan hanya bertahan tidak sampai satu bulan.
Yang “merdeka” sesaat hanya rumah warga yang dekat dengan bak penampungan sementara. Perolehan airnya lumayan banyak. Kecepatannya kencang.
Sedangkan rumah yang jauh dari bak, airnya makin sedikit. Jika rumah makin jauh dari bak tampung, air pun seperti malas turun. Kalaupun turun, mirip seperti tetesan embun, tep… tep…tep!
Karena air tidak merata, proyek prestisius itu dianggap gatot a.k.a gagal total. Warga kemudian kembali ke kebiasaan lama. Mereka mengarahkan carak talang air agar air hujan masuk ke bak penampungan.
Ikhtiar ini pun sering terkendala. Bila kemarau tiba, stok air cepat menipis. Di garis tengah bak penampungan, akan muncul warning “hemat air… hemat air…”, atau warning dengan tone nada echo full “ini musim kemarau… rau… rau… au.. ow… ow…”.
Lagi-lagi saya mulai menyadari ternyata surganya air tanah hanya ada di kampung kelahiran saya, Matangglumpangdua Meunasah Timu. Di kampung kelahiran istri, kenikmatan mandi hanya sebatas satu galon.
Satu galon, yang benar Bree?
Iya, kalau air untuk mandi hanya satu ember yang sudah dihangatkan satu panci, lalu ditambah air bak secukupnya, ya setara satu galon, ‘kan?
Kalau mau mandi menghambur-hamburkan air sepuasnya ke belakang badan, sih, bisa saja ketika stok airnya penuh di musim hujan. Tapi siapa yang sanggup mandi air sedingin es di dataran tinggi Gayo?
Kesimpulannya, jangan larang orang Matang mandi berhamburan air, kalau ia belum pernah tampung air hujan satu galon untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Apa mau dikata, kita memang bertanah air satu, tapi air tanah kita tak sama mutu dan kuantitasnya.
Selamat Hari Air Sedunia. Mulailah berhemat air. Jangan sampai cita-cita “meng-emas-kan” Indonesia tahun 2045, terkendala oleh krisis air bersih.[]