~ Sebelum ada debat soal nama, kita mesti sepakat lokasi wisata tersebut betul-betul indah. Hanya satu-satunya di Aceh.
Dari puncak Pantan Terong, kabut tebal petang itu terlihat mulai menggantung di atas Danau Laut Tawar dan Kota Takengon. Awan hitam pun ikut mengiringi kabut, disertai suara getaran dari langit (baca: geulanteu).
“Wah, sebentar lagi mau turun hujan, cepat ambil foto nanti danau ketutup kabut,” seru seorang pengunjung di lokasi wisata Puncak Pantan Terong, Sabtu, 31 Maret 2018. Mukanya agak panik padahal dunia belum terbalik.
Bagi yang belum tahu di mana itu Pantan Terong, mari kita buka sama-sama Google Maps dan Wikipedia.
Menurut dua sumber yang belum tentu terpercaya itu, Pantan Terong salah satu destinasi ekowisata yang terletak di Desa Bahgie, Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah.
Kalau sudah berjinjit tumit di puncak ini, artinya Breeders sedang berada di ketinggian 1.800 meter dari permukaan laut. Jangan tanya lautnya di mana karena tak bakal kelihatan dari situ.
Dari ketinggian itu, kita bisa menyaksikan pemandangan Kota Takengon dan beberapa kampung yang ada di kabupaten tersebut. Masak naik tinggi-tinggi hanya untuk melihat atap rumah?
Tenang, kamu juga bisa menyaksikan hijaunya dedaunan, lekuk-lekuk bukit, dan Danau Laut Tawar.
Selain itu, menggigil di dalam cuaca dingin, jepret foto sana-sini untuk koleksi insta story, bahkan, jika mau, teriak-teriak nggak jelas sesuka hati. Komplet, kan?
Tentu saja, kegenapan keseruan itu telah dimulai ketika dengkul mulai bergerak menuju lokasi. Dari kota, ketimbang nyasar, sekali lagi bukalah Google Maps.
Kadang-kadang fitur ini membantu Anda yang malas bertanya kepada orang-orang sekitar. Ya, Google Maps membuat kita anti-social. Hal ini hanya berlaku bagi orang yang belum tahu medan (tempur) menuju lokasi. Yang sudah tahu, silakan menuju lokasinya, Bos.
Mencapai Puncak Pantan Terong a.k.a Al Kahfi butuh waktu sekitar 20 menit dengan kendaraan roda empat.
Agak dilarang membawa roda tiga kecuali cuma itu satu-satunya sarana transportasi yang tersedia.
Soalnya, jalan menuju ke sana terjal dan banyak tikungannya. Yang bawa mobil saja sangat hati-hati menyeret roda kendaraannya supaya lancar tak keluar dari jalanan.
Kebetulan saya membawa mobil. Kelelahan saat menaklukkan terjalnya jalanan akan terbayar dengan pemandangan kebun kopi milik para petani Gayo yang terdapat di sepanjang jalur.
Melihat yang hijau-hijau begitu bakal membikin hati tenteram dan damai. Biar hati makin meunyap-nyap, setel saja lagu-lagu selow di mobil.
Akhirnya, setelah liku jalan mencapai titik penghabisan, moncong mobil pun terhenti di depan sebuah gerbang kecil. Di dekat gerbang terpampang plang bertuliskan “Selamat Datang Agro – Ekowisata Pantan Terong. Nikmati Pemberian Allah, Taati Perintahnya”.
Plang itu dibingkai dengan corak Kerawang Gayo. Di bawahnya tersemat keterangan “Disbudparpora Kab. Aceh tengah”.
Aha, sudah sampai rupanya. Pertanyaan yang membuncah sejak awal, “Ada apa di puncak sana?” akhirnya terjawab.
Dari gerbang tadi terlihat sebuah bangunan mirip rumoh (rumah) Aceh yang menghadap tepat ke arah matahari terbit. Di lantai dasar rumah terdapat sebuah cafe bernama Keniko Coffee.
Dari namanya saja cafe ini menyajikan beragam racikan minuman dari kopi seperti capucino, espresso, sanger. Tak ada es krim di sini. Untuk cemilan pemilik cafe menyajikan nuget, sosis dan kentang goreng.
“Keniko artinya untukmu. Filosofinya, cafe ini dipersembahkan untuk setiap pengunjung yang datang,” ungkap Fata, barista kafe.
Wah, ternyata itu artinya. Untung belum buka Google Translate. Kata Keniko berasal dari bahasa Gayo.
Selain kafe, ada juga ruangan di serambi rumah yang bisa dipakai untuk merebahkan badan sembari menikmati matahari terbit.
“Ada pengunjung datang dari luar daerah khusus untuk berkemah di sini dan meninggalkan keluarganya di hotel. Mereka begadang sampai pagi hanya untuk melihat sunrise dari sini,” ujar Ainul Mardiah, pemilik kafe sekaligus pengelola tempat wisata tersebut.
Betul-betul militan pengunjung tersebut, datang khusus memburu sunrise, ckckck.
Namun, yang tidak militan lebih banyak. Biasanya, mereka berdatangan saat tanggal merah.
“Sabtu dan Minggu banyak yang datang, apalagi kalau libur panjang,” ujar Ainul.
Untuk melayani pengunjung yang banyak, Ainul memperkerjakan 10 orang.
“Awalnya kami hanya tujuh orang, tapi kadang buka sampe malam, jadi saya tambah jadi 10 orang.”
Selain wisatawan lokal, banyak juga pengunjung dari luar Aceh bahkan mancanegara. Termasuk tokok-tokoh republik ini.
Ainul menyebut satu per satu. Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menterinya, Panglima TNI, dan Kapolri.
Sedangkan tokoh-tokoh lokal seperti bekas Gubernur Abdullah Puteh.
Berbeda dengan saya yang hanya rakyat jelata, para tokoh itu tidak menunggangi kendaraan darat ketika menuju lokasi. Mereka naik helikopter dan turun langsung di sebuah lokasi khusus untuk helipad di puncak tersebut.
Duh, keren, Pak, kapan kami bisa seperti Anda?
Sebelum tokoh-tokoh itu berdatangan, kata Ainul, tamu pertama yang datang ke puncak tersebut berasal dari Malaysia.
“Investor dari Malaysia (yang datang) pada 1999, ketika tempat ini baru dibuka,” ujarnya.
Tahun itu, almarhum suami Ainul, Teungku Albar Bantasyam membersihkan lokasi puncak yang masih diselimut semak dan pepohonan. Waktu itu, nama lokasi tersebut kebun angin.
“Warga menyebutnya kebun angin karena sering diselimuti oleh angin.”
Albar dibantu lima temannya termasuk Mustafa M. Tami, bekas Bupati Aceh Tengah, berinisiatif membuka tempat wisata di puncak tersebut. Setelah puncak dibersihkan, jalan menuju lokasi juga dibuka.
“Warga dengan sukarela memberikan ladang kopinya untuk dijadikan jalan dan ikut mendukung dibukanya tempat wisata ini,” ujar Ainul.
Nah, saat itulah nama puncak tersebut ditabalkan dengan nama Al Kahfi. Nama ini terinpirasi dari kisah seorang pemuda yang diceritakan dalam Alquran kemudian diselamatkan oleh Allah dalam Gua Al Kahfi.
“Bapak menamainya karena tempat ini dulunya tersembunyi dan perlu diselamatkan kelestariannya. Subhanallah, Maha Suci Allah atas karuniaNya.”
Ketika kemudian namanya berubah, Ainul tak sempat bercerita lebih banyak apa penyebabnya. Ia hanya berharap nama Puncak Pantan Terong ini dikembalikan ke nama pertama kali yang disematkan oleh para penggagasnya yaitu Puncak Al Kahfi.
“Selama ini warga lebih mengenal tempat ini dengan sebutan Pantan Terong, padahal sebenarnya Puncak Al Kahfi,” ujar Ainul.
Dia berencana ke depannya bakal membuat homestay di situ agar pengunjung bisa bermalam. “Yang sudah ada kita jaga dan kita kembangkan.”
Jadi Breeders, soal penyebutan nama mana yang pas kembali pada diri kita masing-masing. Kedua nama itu baik dan saya tidak menyebutkan mana yang betul atau salah.
Saya akan menyebutnya Puncak Al Kahfi a.k.a Pantan Terong, supaya tak ada dawa di antara kita.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )