Beberapa Larangan untuk Mahasiswa Saat Bergelut dengan Skripsi

Konon, filosofi yang terkandung di dalam seremoni pergeseran tali toga adalah agar setelah lulus para sarjana tidak hanya menggunakan otak kirinya tapi otak kanan.

Ilustrasi-skripsi-breedie

~ Oh skripsiku, sang pahlawan di balik bergesernya tali toga

Sidang skripsi adalah hal yang lebih horor dari “bernafas di dalam kubur”. Setidaknya begitulah definisi yang berhasil kusematkan dulu.

Tetapi tahukah kamu bahwa membaca kembali skripsi yang kamu tulis dan bangga-banggakan setelah delapan tahun berselang jauh lebih menyeramkan?

Rasanya ingin kukembalikan nilai A yang pernah diberikan oleh dosen pembimbing dan pengujiku saat itu.

Masih teringat jelas dalam ingatan, saat kewajiban di semester delapan mulai mengincar. Walaupun sudah mengikuti mata kuliah metodologi penelitian, tetap aja diriku nggak mengerti apa yang akan kutulis di skripsi.

Yang kutahu dosen pernah bilang, untuk menulis skripsi harus ada masalah. Namun, jangan nyari-nyari masalah.

Sebagai anak muda yang ingin dianggap we-o-we, aku ingin punya judul skripsi yang berbeda dengan teman-teman lain. Maunya sih viral di medsos, maunya…

Di lain sisi, aku nggak mau jurusan yang pernah kuanggap “kuno” ini justru akan menghasilkan spesies baru Meganthropus Erectus.

Sekadar informasi, jurusan yang “terpaksa” kuambil pada saat meninggalkan kehidupan tanpa seragam putih abu-abu adalah S1 Ilmu Perpustakaan dan Informasi.

Aku pernah geli plus alergi banget saat menyebutkan judul jurusan kuliah. Apalagi jika yang bertanya adalah anak-anak kedokteran. Rasanya tubuhku langsung menciut dari Shinichi Kudo menjadi Detektif Conan.

Oleh karena faktor-faktor itulah ditambah beberapa hal lain yang tak elok disebutkan, aku mencari cara agar akhir kisah di kampus biru ditutup manis oleh skripsi yang sedikit terlihat necis.

Bila perlu judul skripsi di-makeup dengan bahasa Inggris dan di-parfumi dengan pengolahan data menggunakan SPSS, program komputer atau aplikasi yang dipakai untuk analisis statistika tingkat lanjut.

Baca Juga: Ketangguhan Laptop-laptop Windows yang (tidak) dipunyai Mac

Walaupun saat itu aku nggak mengerti makhluk apakah si SPSS itu. Aku baru mengenalnya pada 2019 saat mulai iseng menulis lagi karya ilmiah untuk kepentingan pekerjaan setelah lulus dari kampus tercinta.

Tujuanku bermewah-mewah dengan judul skripsi tentu saja supaya orang-orang di jurusan (kalau mereka mau) akan mengenangku sepanjang hayat. Judul skripsiku akan dijadikan contoh teladan bagi mahasiswa yang lain. Atau, minimal dipajang di dinding kantin kampus lah.

Singkat cerita, semua tujuanku itu tak tercapai. Dan buset sebuset-busetnya, saat sidang skripsi berjalan, aku menjalani kegiatan ilmiah itu dengan terlalu berani.

Saat itu, aku tak tahu konsekuensi apa yang harus dipertanggungjawabkan. Mungkin saja, delapan mata yang mengujiku di sidang saat itu diam-diam tertawa geli dalam hatinya. Alah, peduli amat.

Pokoknya, tutup mata gigit gigit alias pet mata kap igoe, hehehe.

Namun, seberantakan apapun skripsi yang kubuat delapan tahun lalu, ia menjadi salah satu pahlawanku, selain Detektif Conan tentu saja. Skripsi itulah yang berhasil mengantarkanku ke seremoni pemindahan tali toga dari kiri ke kanan wajah.

Konon, filosofi yang terkandung di dalam seremoni pergeseran tali toga adalah agar setelah lulus para sarjana tidak hanya menggunakan otak kirinya. Melainkan, harus lebih banyak menggunakan otak kanan.

https://www.instagram.com/p/B1FqxJtgqgI/

Otak kanan itu sendiri berhubungan dengan daya imajinasi, kreativitas juga inovasi seseorang. Entahlah. Tapi aku malah merasa lebih menggunakan otak kanan saat me-Reka-Saya hasil penelitian.

Sebelum kita melangkah lebih jauh ke gerbang kehancuran izinkan aku sebagai mantan mahasiswa membagi beberapa hal yang dianggap perlu dan layak terkait skripsi ini.

Karena kutahu engkau begitu, di luar sana masih banyak bertebaran para calon mahasiswa yang belum dan sedang berkutat dengan skripsi. Bayang-bayang kapan skripsi selesai kini sedang menghantui mereka

Nah, aku bukan mau membagi cara membuat skripsi. Aku cuma mau mengingatkan beberapa “do and dont” dalam skripsi. Disimak baik-baik ya:

Pertama, perbanyaklah membaca. Untuk saat ini, ketika jarum jam berpose di angka 00.00 bukanlah waktu mendendangkan I Have a Dream.

Tubuh memang terasa lunglai sementara mata masih harus terpaku pada kertas HVS yang baru saja dilukis oleh para pembimbing, sambil sekali-sekali menggarukkan kepala karena tak bisa membaca “tulisan dokter” tersebut. Tapi yang jelas kalian harus terus membaca dan membaca.

Kedua, jangan banyak gaya. Tak perlu mengatakan kepada setiap orang yang kamu temui bahwa kamu sekarang sedang menyusun skripsi. Orang-orang sudah letih dengan beban hidup masing-masing. Jangan menambah beban mereka.

Ketiga, jangan pernah tulis nama pacarmu di kata pengantar. Nanti kalau putus apa kamu sanggup nyari lagi skripsi yang udah dibagi-bagikan ke dosen dan perpus demi nyetipo nama dia?

Keempat, jauhi drama Korea untuk sementara waktu. Karena, tidak ada drama Korea yang berisi tutorial cara bertahan hidup saat bergelut dengan skripsi.

Baca Juga: Saya, Drama Korea, dan Prasangka-prasangka

Kelima alias yang terakhir, Bree, tapi ini bukan larangan. Skripsi bukanlah hal yang menakutkan. Perbanyaklah zikir kepada-Nya.

Semoga beberapa hal ini menusuk-nusuk kalbu kalian semua. Salam manis dariku si @semut_r4ngrang.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

One thought on “Beberapa Larangan untuk Mahasiswa Saat Bergelut dengan Skripsi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *