BNOW ~ Organisasi nirlaba The Coalition for a Safer Web menuntut Apple segera menghapus telegram di toko aplikasi App Store karena dinilai gagal menyensor ujaran kebencian yang menghasut kekerasan.
Dalam gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan Distrik California Utara Ahad lalu, Telegram dituduh mengizinkan konten ekstremis berkembang di platformnya.
“Telegram saat ini berfungsi sebagai saluran komunikasi pilihan para nasionalis neo-Nazi atau kulit putih, [yang] mengipasi hasutan anti-Semit dan anti-kulit hitam selama gelombang protes saat ini di seluruh Amerika,” bunyi gugatan tersebut.
Sementara Apple sendiri dinilai menutup mata terhadap fakta tersebut. Menurut Safer Web, Apple gagal meminta pertanggungjawaban Telegram karena melanggar persyaratan layanannya yang melarang perkataan pemicu kebencian dan hasutan.
Organisasi yang berbasis di Washington tersebut meminta Apple melakukan tindakan serupa terhadap media sosial Parler. Apple menghapus Parler karena dianggap menyediakan tempat bagi pendukung Donald Trump yang menyerukan kekerasan dan pemberontakan menjelang pengepungan gedung kongres.
Namun, setelah Parler dihapus, kata Safer Web, Telegram sebagai aplikasi perpesanan yang fokus pada privasi telah menjadi tempat berkembang biaknya konten-konten berbahaya.
“Telegram menonjol dengan sendirinya sebagai penyebar [ucapan kebencian], bahkan dibandingkan dengan Parler,” ujar Marc Ginsberg, pendiri The Coalition yang juga bekas duta besar Amerika Serikat untuk Maroko.
Jika Apple gagal menghapus Telegram, hal itu dikhawatirkan dapat menimbulkan kekerasan jalanan. Alasannya, Telegram kini digunakan untuk mengoordinasikan dan menghasut kekerasan ekstrim sebelum pelantikan Presiden Amerika Serikat Joe Biden.
Selain Apple, The Coalition juga berencana menggugat Google.
Sementara itu, dilansir Washington Post, baik juru bicara Apple, Fred Sainz dan maupun juru bicara Telegram, Mike Ravdonikas, tidak menjawab saat dikonfirmasi.
‘Bukan Aplikasi Amerika’
Pertumbuhan pengguna Telegram meningkat pesat setelah Twitter, Facebook, dan YouTube, memblokir Donald Trump. Pekan pertama Januari, Telegram mencatat lebih dari 500 juta pengguna aktif. Sementara dalam 72 jam terakhir pada 12 Januari 2021, Telegram kedatangan 25 juta pengguna baru.
CEO Telegram Pavel Durov mengatakan dari 25 juta pengguna baru itu, 38 persen berasal dari Asia, 27 persen Eropa, dan 21 persen dari Amerika Latin.
Tuntutan agar Apple menghapus Telegram agak sulit dijangkau oleh pengadilan Amerika. Telegram bukanlah “aplikasi Amerika” karena dioperasikan dari luar negeri, tepatnya di Dubai oleh pengusaha internet asal Rusia, Pavel Durov.
Telegram populer di kalangan pengguna yang ingin menjaga komunikasi mereka terlindung dari rezim otokratis dan mereka yang mencari privasi online. Durov sendiri bentrok dengan pemerintah Rusia terkait sensor dan enkripsi yang menjadi kebanggaan Telegram hingga kini.
Di tengah gencarnya kritikan terhadap longgarnya moderasi, Telegram baru-baru ini melarang lusinan saluran publik yang dinilai menghasut kekerasan.
Namun, Telegram juga memiliki reputasi sebagai aplikasi utama yang digunakan teroris. Selama bertahun-tahun, Telegram digunakan para militan ISIS untuk berkomunikasi dan menyebarkan propaganda. Pada 2019, polisi Eropa bekerja sama dengan Telegram menghapus akun terkait ISIS.[]
Diperbarui pada ( 19 Maret 2024 )