Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Dua Puluh Tiga
Segala pertanyaan Dinda terjawab saat akhirnya Ayah naik ke mobil. Dia menyebarkan bau garam dan air asin.
Segala pertanyaan Dinda terjawab saat akhirnya Ayah naik ke mobil. Dia menyebarkan bau garam dan air asin.
Keputusan Kepala Sekolah dan Kepala Asrama untuk meminta kawalan kepolisian menjadikan suasana terasa jauh lebih tegang.
Rokok haram pemberian Nana dimasukkannya ke saku. Dalam kepalanya, ia berpikir-pikir, kepada siapa akan dijualnya barang itu.
"Ini ganja?" tanya Dinda. Dia sudah sering mendengar Abie dan kawan-kawannya membicarakan benda itu.
Separuh jiwanya terbakar keinginan membalas, tak sudi membiarkan sahabatnya terus menerus jadi korban.
Wajah Nana berubah kecut saat menempelkan telepon ke telinganya. Ia mendengarkan, bicara sebentar, mendengarkan lagi, lalu menutup telepon.
Dengan jengkel Dinda terpaksa mengakui, bibi si Serigala itu menarik. Dia jangkung, sepertinya di atas rata-rata perempuan Indonesia.
"Bunda emang sudah ga ada, Ayah. Tapi aku, anaknya, masih hidup. Dan aku nggak suka Ayah begitu sama cewek lain."
Dinda mengeluarkan 'o' panjang karena benar-benar mengerti sekarang, dari mana asalnya julukan 'serigala' itu.
Didengarnya para ilmuwan itu mengobrol. Memuji ikan bakar saus lemon, sate tiram dan sayur pakcoy tumis.
Dinda memandang hasil kerjanya. Tersenyum puas. Kemudian secepat kilat lari kembali ke kafe. Bersembunyi di balik bar jus.
Ia makin yakin bahwa tujuan Ayah menyekolahkannya di SMA Pelsa adalah untuk menyingkirkannya.
"Nana, dari mana kamu tau kalau rumahmu berhantu?" Dinda mengungkit. Saat itu mereka sudah di kamar, berkemas untuk menghadapi akhir pekan di rumah.