Aksimu tempo hari di pertemuan tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perubahan iklim menjadi perbincangan publik. Tak banyak yang menyangka, dara 16 tahun sepertimu mampu menggetarkan dunia. Di situ, kau mengeplak politikus-politikus handal kelas dunia, sembari mengirim sinyal ke banyak korporasi jahat yang hingga hari ini masih menjadi penjahat lingkungan.
“This is all wrong. I should not be up here. I should be back in school on the other side of the ocean, yet you all come to us young people for hope. How dare you! You have stollen my dream and my childhood with your empty words and yet i am one of the lucky ones!”
“People are suffering. People are dying. Entire ecosystems are collapsing. We are in the beginning of a mass extinction and all you can talk about is money and fairytales of eternal economic growth? How dare you!”
Aku menonton video aksimu itu dengan mulut tergangga. Di kepalaku muncul rasa kagum yang berjuntai-juntai. Kenapa? Karena aku tak pernah sepertimu. Tak pernah mengucapkan kata, “How dare you,” di depan sekumpulan pemimpin negara anggota PBB yang jas dan dasinya selalu rapi. Aku tahu ini kekanak-kanakan, seperti bocah yang pertama kali melihat es krim.
Namun Greta, dari situ aku tahu betul apa pentingnya kita bersuara ketimbang duduk manis di pojokan; mencari sudut aman. Sembari berharap dunia baik-baik saja.
Dunia, tidak akan baik-baik saja ketika kita cuma duduk manis menyesap kopi sambil berharap pepohonan terus menghijau, membayangkan langit bersih tanpa polusi, dan harga barang terjangkau kantong.
Aku mungkin terlalu naif karena digugah pidato oleh seorang bocah sepertimu. Kalau kata teman-temanku di sini, aku seperti mujair yang insangnya gampang tersangkut mata kail. Tapi biarlah aku begitu, supaya otakku bisa tersentil sesaat tanpa gengsi menutupi apa yang seharusnya dirasakan.
Greta, pidatomu itu, sepertinya sudah mengirimkan getar ke negeriku. Siang 25 September 2019, sekumpulan anak-anak sekolah berseragam cokelat__yang juga seusiamu__menggeruduk gedung parlemen negara kami. Mereka menyerbu seperti tawon, datang berkerumun, dan menyengat tiba-tiba. Mereka datang untuk memprotes negara.
Sebelum mereka datang, abang dan kakak mahasiswa mereka sudah tiba lebih dulu. Protesnya serupa, hanya cara saja yang berbeda. Abang dan Kakak mereka berbaris rapi. Mereka datang ke gedung parlemen dengan menyewa bus. Setelah itu menggelar orasi berjam-jam tanpa lelah.
Sementara, teman-teman sepantaranmu yang remaja itu, menaiki truk. Ada yang bilang, mereka bolos sekolah. Seperti dirimu Greta, ketika kau berunjukrasa seorang diri di Stockholm pada Agustus 2018 lalu. Saat itu, kau bahkan mencetuskan gerakan bolos sekolah untuk berdemo tentang perubahan iklim.
Setibanya di gedung dewan nanmegah itu, Greta, anak-anak berbaju cokelat itu justru bermuka-muka dengan petugas negara yang warna seragamnya sama. Anak-anak itu tidak berorasi seperti abang dan kakaknya, atau sepertimu. Mereka tak meminta bertemu para legislator untuk cuap-cuap sepatah dua patah kata.
Mereka hanya menyerbu dan menyerbu. Ketika dipukul mundur, mereka mundur. Lalu setelah itu balik lagi. Tak kenal lelah. Mereka bertarung. Walau ada yang bilang untuk apa. Walau ada yang mengatakan, anak-anak sekolah itu tak mengerti tujuan dari itu semua. Mereka cuma ikut-ikutan.
Tapi kau tahu siapa yang meragukan mereka, Greta? Mereka yang selama ini duduk manis di pojokan untuk cari aman. Para buzzer yang menutup mata dari kebobrokan sistem karena mereka telah dibayar untuk itu. Ada juga mereka yang tak berani bersuara, yang cuma manggut-manggut saja ketika sebuah kebijakan negara berlawan arah dengan apa yang mereka mau. Padahal, mulut mereka terlalu kesal untuk memaki.
Mereka takut, jika bersuara, akan berurusan dengan negara. Ada banyak regulasi di negeri kami yang begitu gampang menggari orang hanya karena dianggap salah dalam menyuarakan pendapat dan tindakan.
Regulasi-regulasi itulah yang beberapa hari ini diprotes. Oleh mahasiswa dan teman-teman sebayamu itu. Harapannya, regulasi-regulasi itu diperbaiki demi kebaikan bersama. Tapi, kau tahu apa yang dilakukan negara, Greta? Sejauh ini negara bergeming.
Teman-temanmu yang berbaju cokelat itu disasar gas air mata. Abang dan kakak mereka digebuki. Itulah jawaban sementara untuk protes-protes itu. Dan, itulah bentuk demokrasi di negeri kami.
Mungkin, kami tidak bisa santun sepertimu, Greta. Kami tidak cukup waktu untuk menyusun sebuah teks pidato. Sejak kecil, kami menyaksikan begitu banyak kejahatan yang belum terselesaikan hingga hari ini. Kami juga dibungkam begitu lama. Hingga kami tidak sadar, apakah masih layak bersuara atau tidak.
Karena itu, teman-teman sebayamu itu datang ke parlemen hanya untuk memuntahkan segala kekesalan mereka terhadap negara. Mereka mewakili kemarahan banyak orang.
Mereka menyerbu sasaran yang selama ini mengecewakan kami. Sasaran yang awalnya menjadi pundak tempat banyak kami bergantung harapan kehidupan berbangsa yang lebih baik. Pundak yang seharusnya tegak, bukan pundak yang penuh kawat duri.
Terima kasih, Greta, untuk aksi dan pidatomu yang menggetarkan itu.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )