~ Payung Teduh layak disebut duta perdamaian antara Folk, Jazz, dan Keroncong
Untuk generasi kelahiran tahun 90-an, keroncong berada di senjakala. Kehadiran musik kawakan ini kadang hanya mewarnai saluran televisi resmi pemerintah menjelang waktu dinihari. Berbeda dengan dulu, saat emak-emak masih remaja, segmennya pasti masih segar di jam-jam makan malam. Begitulah dawai ukulele, suling, biola dan contra-bass mengalun, perlambang romantika dan melankolia pengantar tidur. Ampuh membius muda-mudi masa itu.
Aliran musik keroncong adalah legenda sepanjang masa di Indonesia. Para budak Malaka di abad ke-17 pasti cekikikan karena sukses mendompleng tarian Moresco dari Spanyol tanpa harus khawatir dijerat Undang-Undang Hak Cipta yang memang belum ada bentuknya. Kala itu, kita tengah meretas identitas, apa saja diserap, luar dalam. Cerdasnya, untuk menunjang orisinalitas, orang Indonesia mencampurnya dengan gamelan dan rebab yang niscaya ‘memusnahkan’ akar Moresco pelan-pelan dari entitas Keroncong. Terjadi dialektika, dan keroncong seakan sintesa antara seni eropa dan nasionalisme kita.
The Beatles adalah air bah bagi industri keroncong pada tahun 1950-an. Ia tak sendiri, sebaris dengan musik jazz, sama-sama digerus pop kuartet asal Liverpool ini. Kombinasi antara kegantengan fisik dan kepiawaian bermusik adalah anugerah yang tak terkira buat Paul McCartney dan kawan-kawan. Mereka jadi idola, dipuja di mana-mana. Dalam banyak tayangan tentang sejarah The Beatles, Anda pasti melihat bagaimana para personil turun dari pesawat disambut teriak histeris nan mematikan dari penggemar wanitanya.
Petaka keroncong, alih-alih sudah tak mendunia, tenggelam oleh musik pop yang lebih terdengar nyaring bagi orang muda. Ia makin menua, lamban dan renta.
Kabar baik di dekade ini, mantan punggawa Funky Kopral, Bondan Prakoso lewat lagu ‘Kroncong Protol’ beberapa tahun silam sukses memantik kesadaran kita akan peran sosok seperti Kusbini, Gesang, Idris Sardi hingga Hetty Koes Endang. Setidaknya setelah mendengar lagu itu, penulis sontak orgasme dan mengulik lagu-lagu mereka di peramban.
Keroncong mulai diingat lagi sejak itu, seraya terus membekas di memori generasi tua.
Lama jalan di tempat, kegaharan musik indie di nusantara yang dimulai lewat panggung-panggung kecil dan segmen terbatas memunculkan genre-genre baru. Sampai di sini, label-label mayor seakan mulai dirayapi. Musik indie mencetak sejarah. Mereka dengan ideologinya masing-masing bersuara. Jadi oase di tengah merajalelanya praktik pembajakan karya dan kekangan tema-tema mainstream.
Tentunya penjelasan ini tak mampu mengurai utuh bagaimana evolusi musik kita. Breedie hanya memberi bingkai sepintas saja. Karena semua alur perjalanan musik ini memberi cetakan tebal pada satu nama, Payung Teduh.
Payung Teduh adalah ‘perdamaian’ antara Folk, Jazz, dan Keroncong. Dari ulasan Wikipedia, kita mendapati bagaimana Istiqamah Djamad dan Comi Aziz mengawal proyek musik alternatif ini sejak akhir 2007. Keroncong amat dominan untuk Payung Teduh, ia mengobati kerinduan generasi tua dan memantik gairah anak muda. Lagu Angin Pujaan Hujan misalnya, sejenak mengalirkan kita pada nuansa di mana tivi hitam putih masih primadona di rumah-rumah. Romantikanya tak kalah klasik, santun, rapi meski tak dipungkiri rambut kribo Is yang terurai lepas itu tampak serampang, ajaibnya jadi karakter yang kuat untuk Payung Teduh.
Pendengar mulai tak peduli lagi pada stigma yang seksis untuk musisi: ganteng dan piawai. Payung Teduh melampaui itu semua.
Lagu berjudul Akad adalah senjata yang ampuh untuk Payung Teduh mencatatkan sejarah mereka di blantika musik Indoensia. Memang, komposisinya mulai ‘kekinian’, banyak penggemar setia yang menguntit kiprah mereka sejak album pertama bertajuk ‘Dunia Batas’, mendadak kecewa dengan gaya lagu Akad. Tapi, itulah konsekuensi bermusik, tak setiap karya bisa disukai semua orang.
Meledaknya Akad di tahun 2017 tak sekedar dinikmati, tapi berbondong-bondong musisi amatir juga meng-cover-nya. Jutaan viewer mampir di Youtube untuk mendengar ragam cover Akad. Belakangan, komersialisasi yang ilegal dari sekian musisi amatir itu sempat dipersoalkan Payung Teduh.
Terlepas dari itu, meski cukup subjektif, tapi kadang ada benarnya jika Payung Teduh kita ganjar predikat ‘Keroncong Zaman Ini’. Musik mereka berhasil menjembatani dua era, tua dan muda. Hampir semua lagunya tenang menyejukkan.
Malang, di puncak kejayaannya, Is sang vokalis memutuskan hengkang.
Siapa yang tak menyayangkan keputusan Is? semua orang dibuatnya kecewa. Berseliweran kabar bahwa deretan cover Akad di media sosial membuat Is tak tahan. Ia benci industri yang mementahkan orisinalitas sebuah karya. Namun, dalam berbagai kesempatan ia mengklarifikasi lain.
Is mundur karena kelelahan, ternyata. Jadwal padat Payung Teduh yang namanya terus laris di pasaran membuatnya seperti robot, tur dari kota ke kota tanpa henti. Bagi kita penikmat yang awam, alasan ini tentu tak dapat diterima. Karena pertunjukan adalah konsekuensi yang tak terhindarkan setelah karya tercipta. Apa Is tidak siap dengan popularitas Payung Teduh? Is tentu tidak perlu menjawab diplomatis.
Ia dengan jujurnya mengatakan, “kembalikan musik Payung Teduh ke rumahnya”.
Kalimat ini sangat berisiko, lantaran amat jujur, juga berani. Rupanya Is rindu pada panggung Payung Teduh di acara-acara sosial, momen penggalangan dana dan hiburan untuk anak-anak yang terkena bencana alam. Mungkin di sana semangatnya berasal. Tentu panggung-panggung itu berbeda dengan yang mereka hadapi sekarang, kelap-kelip lampu sorot, area konser seluas stadion, dan radiasi ponsel pintar yang terus menyala dari seantero penonton saat mereka konser, sibuk memotret dan merekam ketimbang menikmati musiknya.
Hiruk pikuk ini membulatkan tekad Is untuk berhenti. Ia rindu ‘rumah’ nya. Is ingin mengembalikan fungsi sosial Payung Teduh, tidak hanya bermusik untuk uang dan popularitas. Pernyataan ini mengusik alam bawah sadar kita tentang hakikat seni.
Capaian kebenaran melalui akal budi menguak apa yang disebut sebagai intuisi, sebagaimana kata filsuf termahsyur Rene Descartes. Dalam jurnal Harmonia, Sukatmi Susantina (2000) juga mengutip sekian anasir dari seni musik seperti; ritme, harmoni, nada, persenyawaan, yang semua dikembalikan pada keselarasan dan keindahan hidup. Musik sebagai komposisi yang muncul dari tenaga batin, khayal, dan gerak perasaan, mampu menyerap kembali ke jiwa seseorang.
Mungkin, kenyamanan Is adalah tepuk tangan anak-anak, guratan senyum pelipur lara, dan rasa kemanusiaannya sendiri. Jadi, barangkali kita bisa melengkapi pernyataan Is tadi, bahwa musik tidak hanya bicara proyek rasional, di mana seorang seniman mereka-reka realita, menafsirnya dengan perbandingan nada semata. Penulis jadi ingat apa yang pernah dikatakan Che, vokalis Cupumanik, bahwa bermain musik adalah bagian dari terapi. Maka genaplah, Is tersihir dan disadarkan oleh musiknya sendiri. Berhenti sejenak adalah caranya untuk sembuh. Karena alunan pelan musik dan lirik Payung Teduh mungkin memang ‘tak cocok’ dengan keriuhan penonton era ‘Selfie’ ini.
Entah sampai kapan Is bersemedi, tak ada jaminan komitmennya itu terjaga sepanjang hayat. Ia berhak ke jalur apa saja, bahkan menganulir ucapannya sendiri sewaktu-waktu. Tapi, seruan Breedie untuk saat ini, nikmatilah momen kepergian Is dari Payung Teduh. Dengarkan saja semua albumnya. Kenanglah Payung teduh, selain sebagai jembatan waktu, juga benang merah antara karya dan tanggung jawab.
Entah kenapa, keroncong seperti mengulang cerita, timbul seiring aroma pembebasan identitas, dan tenggelam oleh industri yang hiruk pikuk, seperti kemunculan The Beatles dulu.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )