~ Tiada yang paling dibencinya di dunia ini, selain toilet itu
Pagi sekitar puluhan tahun lalu itu, hari masih begitu basah. Matahari yang biasanya menyeruak lewat pucuk-pucuk kelapa belum tampak juga. Hujan berhenti beberapa jam sebelumnya dan menyisakan beberapa genangan di lapangan depan sebuah sekolah dasar.
Sekolah itu terletak dekat pantai. Debur ombak dan suara teriakan nelayan kerap kali dibawa angin dan terdengar hingga ke dalam kelas. Teriakan-teriakan nelayan; khas orang pantai, jika terdengar bersiponggang di tengah hari terasa menggelikan untuk dicerna para murid yang rata-rata belum dipotong tititnya.
Karena tak ada foto, begini sedikit gambaran suasana sekolah tersebut. Bayangkan bangunan sekolah dasar yang ruang kelasnya berjejer menyambung. Di setiap kelas tak ada jendela. Angin hanya masuk dari tingkap dekat langit-langit. Tingkap ditutup dengan jaring kawat yang kuat. Gunanya, mencegah orang iseng datang malam-malam mengambil meja dan kursi di dalam kelas.
Luas area sekolah dasar itu sekira setengah lapangan bola. Pagar kawat runcing mengelilinginya. Agak mirip tangsi serdadu. Di belakang sekolah terhampar persawahan. Sementara sisi kiri dan kanannya kebun kelapa.
Di depan sekolah terdapat sebuah lapangan tempat para murid bermain sepak bola kala jam istirahat. Lapangan itu tak sepenuhnya lapang karena masih ada beberapa pohon kelapa dan dua batang mangga yang bertengger. Tapi murid-murid telah memasang gawang dari bambu di kedua ujung lapangan. Jadilah dia lapangan bola.
Di bawah pohon mangga itu biasanya berjejer beberapa meja tempat dijualnya penganan seperti mie, es, es bon-bon, dll. Itulah kantin super sederhana tanpa tempat duduk. Di situlah, saban jam istirahat para murid mengisi perutnya yang kelaparan. Sesudah itu, mengejar-ngejar bola hingga capek di lapangan tadi.
Hari mendekati siang ketika lonceng dari potongan besi dipukul beberapa kali. Bunyi lonceng disambut bunyi perut. Begitu pintu-pintu kelas dibuka, murid-murid berhamburan menyerbu kantin super sederhana tadi. Riuh rendah mereka membeli tanpa mengantri. Semua ingin dilayani lebih dulu.
Para penjual, rata-rata perempuan, cukup bijaksana melayaninya. Tidak ada pilih kasih, siapa duluan memesan dialah yang dapat. Ajaibnya, dari puluhan pesanan yang masuk sekaligus ke kuping si penjual, semua mendapat pelayanan. Entah bagaimana informasi itu disaring sekaligus.
Di tengah kerumunan itu, mendekatlah seorang murid. Dia anak kelas empat. Tubuhnya mungil, bahkan mirip anak kelas dua untuk ukuran saat itu. Rambutnya sebeng alias belah pinggir, licin oleh minyak Amla yang dibaluri Maknya tadi pagi. Kaos kaki di sepatu hitamnya hampir menyentuh lutut. Baju dimasukkan ke dalam.
Si murid memesan sepiring mie. Ia berdiri beberapa jenak menunggu mie di-piring-kan sembari bercakap-cakap dengan teman-temannya yang sedang melahap makanan. Entah apa yang mereka perbincangkan. Sesekali tergelak.
Pesanan datang, si murid menyantap mie dengan lahapnya. Padahal, ia tak merasa lapar. Setelah mie, ia menambah dua bungkus kerupuk dan menyeruput es bon-bon. Duh, rakusnya dirimu, Dek.
Selesai makan, perut kenyang, tapi lonceng masuk belum lagi dipukul. Ia diajak beberapa kawannya mengejar bola. Entah milik siapa, tiba-tiba sudah ada sebuah bola busuk bermerek Mikasa di tengah lapangan.
Bola itu mirip gelandangan. Jika dicampakkan ke tong sampah, orang tak bakal mengenalnya sebagai bola. Kulitnya sudah hilang. Hanya menyisakan kulit dalam yang supak sebagai pelapis.
Ketika permainan dimulai, si murid kelas empat tadi dengan semangatnya mengejar bola. Keriangan itu melupakan peluh yang mulai berenang di balik seragam. Hingga, bel tanda masuk berbunyi, seketika permainan bubar. Tersengal-sengal si murid mengambil nafas, beristirahat sebentar lalu bersama kawan-kawannya menuju kelas.
Namun, belum sampai tiba di kelas, sesuatu terjadi. Ia merasa ada sesuatu yang aneh di perutnya. Ia kaget. Insting kecilnya yang rapuh memberitahu bahwa ia harus cepat-cepat ke wc alias water closet.
Berlarilah si murid ke toilet di ujung sekolah. Rautnya masygul. Ia cemas dua hal: membayangkan disetrap guru jika telat masuk kelas dan apa bentuk yang keluar dari perutnya nanti di wc itu, lembek atau keras.
Karena cemas, si murid mempercepat larinya. Ia mengambil jalan pintas lewat lewat koridor. Wc itu berada di ujung koridor, persis di sudut sekolah. Wc itu hanya memiliki satu toilet berjenis jongkok. Hanya murid-murid yang memakai toilet ini. Para guru umumnya memakai toilet yang berada di ruang guru.
Hari yang basah oleh hujan ternyata berpengaruh pada kondisi toilet. Si murid tak menyadari betapa kotor dan licinnya kloset. Ia buru-buru karena isi perut memberontak ingin keluar. Setengah melompat ia masuk ke dalam wc dan mengambil posisi jongkok untuk membuang hajat.
Saking tergesa-gesa, ia tak mengecek apakah toilet itu sudah disiram atau tidak. Kaki kanannya mengambil posisi yang salah. Bukan bertengger di atas pijakan kloset tapi malah nyungsep ke dalam lubang. Kaki kanannya yang mungil seperti batang bambu kuning itu masuk dengan leluasa ke dalam lubang kloset. Sepatunya tersangkut. Alamak, seketika itu ia menyadari lubang kloset itu masih dipenuhi genangan feses kawan-kawannya.
Si murid panik setengah mati. Persis ketika ia berjuang menarik sepatu dari lubang, sebuah semburan kuat meluncur. Mulanya tak paham, baru kemudian ia sadar bahwa itu isi perutnya yang kehilangan kesabaran dan memberontak sedari tadi. Skenario yang tidak diharapkannya. Apa lacur, semburan itu menerjang kaki kiri karena posisi lubang pembuangannya terlalu condong.
Kepanikan merajalela. Tanpa sadar pelupuk matanya basah. Ia pelan-pelan menyadari ketololannya. Ia tak paham, itu musim hujan; waktu ketika DBD sedang bermain-main mencari mangsa. Ia harusnya tak makan mie dan menyeruput es bon-bon itu tadi.
Pelupuk matanya yang basah mulai berubah jadi tangisan ketika sepatunya berhasil keluar dari lubang maut toilet jongkok itu. Tangannya meraih gayung, menciduk air dari bak dan membersihkan sisa-sisa najis yang menggelayut di sepatu kesukaannya itu. Celakanya, tak ada sabun di toilet itu untuk mengusir bau jahanam itu. Ia merasa sungguh terkutuk hari itu; merasa ter-najis-kan.
Keluar dari toilet, bau itu masih kuat mendamprat hidung. Ia tak berani kembali ke kelas. Takut dimarahi guru karena telat masuk. Ia juga takut bau-bau itu bakal membuat seisi kelas pingsan.
Jika di-zoom out, ia tak lebih seperti sepotong pup berbentuk manusia.
Si murid memilih bersembunyi di sebuah sudut depan toilet. Beberapa jam kemudian penjaga sekolah yang kaget menemukannya dan menanyakan kenapa. Secara jujur ia bercerita.
Untungnya, penjaga sekolah itu memahami sepenuhnya. Lalu ia menuju kelas dan mengambil tas si murid, membisikkan kejadian itu pada guru. Sang guru, masih muda, tamatan SPG, memahami dan mengangguk-ngangguk dengan wajahnya yang berwibawa.
Murid itu pun lalu diboncengi di sadel belakang sepeda si penjaga sekolah. Si penjaga sekolah mengantar murid tersebut kembali ke rumahnya. Sementara di kelas, kawan-kawan si murid takut bertanya-tanya apa yang terjadi karena si guru memang tak mau menceritakannya.
Si murid itu kini sudah besar dan ia tak pernah lagi terperosok ke dalam lubang toilet jongkok jahanam itu. Bertahun-tahun setelah itu dia mencoba belajar cara membiasakan diri dengan fitur pembuangan hajat tersebut. Dan ia memilih untuk menyukai toilet duduk. Lebih santai dan terbebas dari varises. Yang terpenting, tak khawatir terperosok ke dalam lubang yang sama.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )