BNOW ~ Revolusi senyap pekerja Myanmar lewat aksi mogok massal selama dua bulan terakhir mulai menunjukkan perubahan signifikan terhadap perekonomian Negeri Seribu Pagoda.
Ada puluhan ribu pekerja Myanmar yang terlibat dalam revolusi senyap tersebut sejak kudeta 1 Februari 2021. Mereka terdiri dari pegawai bank, dokter, insinyur, petugas bea cukai, buruh pelabuhan, staf kereta api, dan pekerja pabrik tekstil. Semua ambil bagian dalam gerakan pembangkangan sipil.
Beberapa pekerja yang mogok termasuk di antara 550 orang yang tewas dalam tindakan keras militer terhadap protes antikudeta. Banyak juga yang ditangkap atau hilang.
“Saya tidak punya uang lagi, saya ketakutan, tapi saya tidak punya pilihan: Kita harus menghancurkan kediktatoran,” ujar Aye, pegawai bank berusia 26 tahun di Yangon, kepada AFP seperti dikutip dari CNA, Ahad, 4 April 2021.
“Kami tidak berdemonstrasi di jalan, kami terlalu takut masuk daftar militer dan ditangkap,” tambahnya. “Revolusi kami senyap.”
Pemogokan terus berlanjut meskipun ada seruan berulang dan ancaman dari militer melalui media yang dikontrol pemerintah, agar orang-orang kembali bekerja.
“Gerakan kami [makin] berkembang,” ujar Thaung, pegawai penerbangan sipil. Lebih dari setengah dari 400 pegawai di departemen Thaung belum kembali bekerja.
Baca Juga: Mengapa Junta Militer Myanmar belum Berhenti Meneror Rakyatnya?
Imbas dari kudeta dan pandemi corona, ekonomi Myanmar kini kacau. Seperempat populasi penduduknya hidup hanya dengan mengandalkan kurang dari satu dolar sehari.
Bank Dunia memperkirakan produk domestik bruto salah satu negara termiskin di Asia tersebut turun hingga 10 persen pada 2021. Ini langkah mundur terbesar bagi Myanmar yang telah mengalami pertumbuhan pesat selama transisi demokrasi oleh pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi.
“Junta tidak siap untuk perlawanan seperti itu,” ujar Francoise Nicolas, Direktur Asia Institut Hubungan Internasional Prancis, yang menggambarkan pemogokan itu sebagai “taruhan yang berisiko”.
Lumpuhnya sektor perbankan membuat karyawan tidak bisa mendapatkan gaji dan mesin-mesin ATM kosong. Sektor garmen yang berkembang pesat sebelum kudeta dengan 500 ribu karyawan, juga kolaps.
Perusahaan asing seperti H&M Swedia dan Benetton Italia telah menangguhkan pesanan. Sementara pabrik tekstil milik China yang bekerja untuk merek Barat telah dibakar. Akibatnya, ribuan pekerja perempuan tidak dibayar dan harus kembali ke desa asal mereka.
Situasi ini juga mengkhawatirkan para petani karena harga benih dan pupuk naik. Turunnya nilai mata uang Myanmar, kyat, menyebabkan pendapatan mereka ikut menyusut.
Di sisi lain, menurut data dari Program Pangan Dunia PBB atau WFP, harga minyak sawit meningkat 20 persen di Yangon sejak kudeta. Sedangkan harga beras naik lebih dari 30 persen di beberapa kawasan negara bagian Kachin, wilayah utara Myanmar yang miskin.
Harga BBM di Yangon juga naik hampir 50 persen pada Maret. Produk seperti bahan bangunan, peralatan medis, dan barang konsumsi, yang biasanya diimpor dari China, mulai habis.
“Pengusaha China tidak lagi ingin mengekspor karena penduduk Burma memboikot produk mereka, menuduh Beijing mendukung junta,” ujar Htwe Htwe Thein, profesor bisnis internasional di Curtin University Australia.
Baca Juga: Myanmar Mencekam, Tentara ‘Teroris’ Junta Kepung Desa
Namun, gejolak ekonomi itu tetap tidak membuat junta militer teroris membuka telinga terhadap permohonan para pengunjuk rasa.
Menurut Amnesty International, junta masih dapat mengandalkan pemasukan yang nyaman berkat bisnis-bisnis yang mereka kontrol di berbagai sektor seperti transportasi, pariwisata, dan perbankan. Bisnis-bisnis ini memberikan mereka miliaran dolar pendapatan sejak 1990. Kerakusan ini menjadi salah satu sebab kenapa militer Myanmar sangat bebal dan maunya berkuasa terus.
Amerika Serikat dan Inggris telah memberikan sanksi kepada junta. Namun banyak negara yang berbisnis dengan junta menolak melakukannya.
“Tentara juga mendapat keuntungan dari sumber daya informal yang luas dari pengumpulan ilegal seperti batu giok dan kayu,” ujar Htwe Htwe Thein.
Di sektor migas, mereka juga mendapat pemasukan signifikan. Raksasa migas asal Perancis, Total, membayar sekitar USD 230 juta kepada pemerintah Myanmar pada 2019 dan USD 176 juta pada 2020, dalam bentuk pajak dan “hak produksi”.
Total hingga kini masih memproduksi migas di Myanmar. Kepala eksekutif Total mengatakan “tentu saja mereka marah atas penindasan yang dilakukan junta” tetapi perusahaan tetap mengabaikan tuntutan penghentian produksi migas. Selain itu, Total berjanji mendanai kelompok yang bekerja untuk kepentingan hak asasi manusia di Myanmar.
Namun, Nicolas menilai akan sulit bagi pengunjuk rasa dan kekuatan internasional untuk membuat junta memperhatikan seruan demi perubahan Myanmar. Kecuali, kata dia, memblokir akses junta ke sumber daya seperti migas.[]
Diperbarui pada ( 13 Maret 2024 )