BNOW ~ Jejaring sosial berbagi video pendek, TikTok, menghapus sekitar 89 juta video selama paruh kedua 2020. Dalam laporan transparansi yang dirilis 24 Februari lalu, aplikasi milik perusahaan China itu menyebutkan dari jumlah tersebut terdapat sekitar 3 juta video dari penggunanya di Indonesia.
“Antara 1 Juli hingga 31 Desember, 89.132.938 video telah dihapus secara global karena melanggar pedoman komunitas atau persyaratan layanan kami, kurang dari satu persen dari semua video yang diunggah di TikTok,” tulis TikTok.
Mayoritas video yang dihapus berasal dari Amerika Serikat sebanyak 11.775.777. Setelah itu Pakistan 8.215.633 video, Brasil 7.506.599, Rusia 4.574.690, dan Indonesia 3.860.156.
Jumlah video yang dihapus TikTok pada paruh kedua 2020 lebih sedikit dibandingkan paruh pertama, 104,54 juta video. India dan Amerika Serikat menyumbang sebagian besar konten, masing-masing 37,68 juta dan 9,82 juta video.
Selain soal hapus video, TikTok menyebutkan menolak lebih dari 3,5 juta iklan karena melanggar kebijakan dan pedoman periklanan perusahaan. Salah satunya, iklan politik berbayar.
Sementara itu, Rusia menjadi negara teratas yang kerap mengajukan permintaan pembatasan atau penghapusan konten di TikTok, sebanyak 135 pengajuan. Diikuti Pakistan 97 pengajuan dan Australia 32 pengajuan.
Aplikasi milik ByteDance ini juga mengoperasikan pusat informasi covid-19. Namun, TikTok mengatakan mereka juga menghapus 51.505 video yang mempromosikan misinformasi covid-19.
Baca Juga: TikTok Hapus Akun Situs Berita Palestina
TikTok hasil merger dengan Musical.ly. Pada 2 Agustus 2018, Bytedance Technology menggabungkan aplikasi ini dengan Tik Tok yang juga milik mereka. Sejak diluncurkan, TikTok pelan-pelan menjelma menjadi platform sosial paling populer di kalangan Generasi Z.
Seiring dengan itu, beberapa negara menolak kehadiran TikTok. Salah satunya Indonesia, yang memblokir TikTok pada Juli 2018 karena menilai banyak memuat konten negatif.
Setelah sepekan blokir dicabut karena TikTok setuju untuk menghapus “semua konten negatif” dari aplikasi. Selain itu, TikTok juga sepakat membuka kantor di Indonesia dan bekerja sama dengan pemerintah terkait konten.
Namun di Amerika, presiden sebelumnya Donald Trump mengajak ribut TikTok dan mengancam melarangnya. Tentu bukan gara-gara TikTok hapus video tapi salah satu alasan Trump terkait risiko keamanan nasional karena hubungan ByteDance dengan China. Trump juga berusaha memaksakan penjualan TikTok ke sebuah perusahaan Amerika.
Presiden Joe Biden tampaknya melunak soal itu walaupun dia sedikit khawatir terhadap aplikasi itu. Gedung Putih juga sedang melakukan penyelidikan luas tentang bagaimana perusahaan teknologi milik China berpotensi menimbulkan risiko terhadap privasi dan keamanan data orang Amerika.
Di bawah persyaratan layanan TikTok, data pengguna dapat dibagikan dengan ByteDance. Namun TikTok mengatakan pemerintah China tidak pernah meminta informasi tentang orang Amerika. Jika ada permintaan seperti itu, TikTok akan menolak.
Selain itu, TikTok mengatakan tidak ada data pengguna Amerika yang disimpan di server China. Data hanya dapat diakses dengan izin dari pejabat keamanan yang berbasis di Amerika. Jumlah data yang ditambang TikTok dari penggunanya setara dengan yang dikumpulkan aplikasi lain, termasuk Facebook dan Google.