Tante Hanum menaiki undakan di muka teras, menyingkirkan sulur bunga-bunga putih menyerupai tirai yang turun dari pergola. Kunci berderak, Tante Hanum mementang kedua daun pintu lebar-lebar. Bau lembab menyeruak, seperti segulung kabut tebal menerpa muka.
“Silakan,” ujar Tante Hanum, menepi agar Nada bisa masuk. Ingin tahu, mulanya Nada hanya menjengukkan kepala ke dalam. Paviliun itu tidak kosong. Ada dipan kecil di pojok sebelah sana, cermin setinggi manusia yang berdiri pada empat kaki dan sebuah meja rendah.
“Itu barang-barang keluarga—uhm—orang-orang yang menghuni tempat ini terakhir kali,” jelas Tante Hanum tanpa diminta.
“Mereka yang menghilang itu kan?” tegas Nada. Tante Hanum mengedikkan bahu. Tersenyum dengan mimik kurang senang.
“Kamu sudah riset ya,” komentarnya.
Nada tak menjawab. Ia menyelip, menerobos di antara tubuh Tante Hanum dan kosen pintu. Masuk ke ruang tamu. Rina ada di dalam, duduk di dipan di dekat kaca. Tangannya dilipat rapi di pangkuan sementara ia mengamati setiap gerak-gerik Nada dengan penuh perhatian.
Lantai ruang itu tegel kuno kuning berpola lorek piton, dibingkai selajur tegel hitam mengilap. Di kanan ada pintu. Tebal, peliturnya coklat tua. Nada membukanya. Ternyata kamar tidur. Luas dan sejuk, jendelanya membuka ke pekarangan depan. Nada bisa melihat semak bunga lampu di depan teras rumah induk dari situ.
Ruang depan dan ruang tengah dibatasi dinding berlubang-lubang yang dapat dijadikan rak. Di ruang tengah, dinding sebelah kiri dikuasai rak buku besar. Penuh dengan buku-buku ensiklopedia teknik dari abad lalu dan berbagai buku lain bersampul keras. Rak itu rata ke dalam dinding. Berseberangan dengan rak, di samping kamar, ada pintu lain. Ternyata kamar mandi. Putih, dengan jendela kecil untuk memasukkan udara, tepat di bawah plafon.
“Buku-buku itu jangan diturunkan, ya,” ujar Tante Hanum, dagunya terkedik ke arah rak buku besar.
“Oke,” kata Nada. Sedikit kecewa. Sebab tadinya ia berniat akan menggunakan rak itu untuk menyimpan buku-bukunya sendiri. Juga peralatan audio dan pesawat tevenya.
Pintu terakhir di depan dapur melindungi sebuah kamar lain. Sama besar dengan kamar depan, jendelanya menghadap pekarangan belakang. Pekarangan belakang paviliun itu dilingkungi dinding bata setinggi sekitar satu meteran.
Nada berdiri sebentar di muka jendela, pandangnya cukup untuk menangkap pohon kemboja kecil di tengah dan pohon jambu air besar di sudut kanan. Rumput dan gulma di situ sudah menghutan. Ada struktur persegi panjang seperti pagar beton rendah di bawah pohon jambu di kanan halaman. Terlalu rendah untuk berfungsi sebagai kolam penampung air. Bentuknya juga terlalu panjang.
Selintas, Nada mengira struktur itu sebuah makam. Tembok bata merah setinggi sekitar satu meter, dilanjutkan dengan besi cor hitam berukir berujung tajam seperti tombak, melingkungi pekarangan itu. Tinggi pagar itu secara keseluruhan mencapai dua meter lebih.
Di bagian terjauh halaman belakang rumah induk, sekitar lima belas meter dari tembok yang melingkungi pekarangan paviliun, ada sebuah bangunan. Memanjang, beberapa pintu nampak berderet di sepanjang bangunan itu. Sebuah selasar beratap rata menghubungkan bangunan itu dengan rumah induk.
Di ujung kanan bangunan nampak semacam kebun. Ditumbuhi pohon pisang, belimbing wuluh, mangga dan entah apa lagi. Penuh sesak. Nampak juga tembok melingkar berlumut sebuah sumur. Pekarangan itu sendiri juga ditumbuhi berbagai pohon buah, meneduhi tanah dengan tajuk mereka yang lebat.
Sambil memeriksa, pikiran Nada mendaftar perbaikan demi perbaikan yang harus dilakukannya untuk merapikan tempat ini.
‘Pangkas rumput’ segera jadi agenda utama. Di dapur, Nada menemukan kompor dan oven gas kuno dari tahun 1930-an, lemari-lemari kabinet, meja bar dan meja bundar bercat kuning. Bak cuci piring juga model kuno. Tapi airnya mengalir dengan lancar. Bersih dan dingin.
Meski agak seram karena teringat tentang pasangan kekasih yang lenyap itu, Nada senang juga karena ia akan punya dapur dan meja makan sendiri.
Nada berbalik. Tante Hanum berdiri di sebelah kanan, tersenyum. Sementara Rina sedang mengawasinya dari dekat pintu kamar. Gadis itu sedari tadi membuntut tanpa berkata sepatah pun.
Baca Juga: I’m Still Here — Chapter 2
“Paviliun ini bagus sekali deh, Tante. Nah, kalau Tante setuju meminjamkan paviliun ini padaku, pekan depan aku akan membawa barang-barangku. Oh iya, kalau ada, nanti aku mau pinjam parang ya Tante. Aku mau memotong rumput pekarangan belakang,” kata Nada.
“Tidak usah. Biar kami yang rapikan,” Tante Hanum tersenyum lebar. Waktu muda mestinya perempuan itu cantik sekali. Sekarang pun, dengan tubuhnya yang tinggi langsing dan blus serta celana panjangnya yang jelas mahal, ia masih tampak sangat menarik. “Oke deh, yuk, ke rumah, kita tandatangani perjanjian kontraknya,” katanya. Ia berbalik, berjalan keluar paviliun.
Nada mengekor. Di ruang depan, Rina bergabung dengannya.
“Hmm… kau yakin akan betah di sini?”
Nada agak heran memandang gadis itu.
“Ya, tentu saja. Kenapa nggak?”
Untuk beberapa saat Rina hanya diam, memandangi Nada. Bibirnya terbuka sejenak seperti ingin menceritakan sesuatu. Tetapi kemudian air mukanya berubah, seolah ia sudah berpikir lebih baik dan memutuskan untuk tutup mulut saja.
Tante Hanum ternyata menunggu Nada di teras.
“Kapan mau bawa barang-barangmu?” tanyanya.
“Sabtu, selesai kuliah Tante. Sekitar pukul sepuluh,” sahut Nada. Mau tak mau ia memikirkan sinar ganjil yang sempat lewat di mata Rina saat bicara tadi. ”Aku akan bawa teman,” tambah Nada saat keduanya beriringan keluar paviliun.
“Nggak masalah,” Tante Hanum berbalik. Dikuncinya pintu depan, anak kuncinya dimasukkan ke saku.
”Kamu mau menempati paviliun ini berdua?” Rina menyusul Nada. Ketika bicara, wajahnya nyaris menyentuh bahu Nada. Nada, merasa janggal dan tak nyaman karena kelakuan gadis itu, menjauhkan diri.
“Nggak. Sendiri. Temanku hanya akan membantuku pindah. Kenapa?”
“Nggak apa-apa. Tadinya kukira kamu sudah nikah.”
Lagi, sinar aneh itu muncul di mata Rina. Mulut Nada sudah gatal ingin bertanya, tapi tak jadi.
Ia sedang senang memikirkan bahwa tahun ini orangtuanya tidak usah keluar biaya lagi untuk sewa tempat tinggal. Lebih bagus lagi, karena letak tempat tinggalnya yang baru itu cukup dekat dari kampus. Kalau mau, ia bahkan bisa berjalan kaki saja ke sana. Selain hemat ongkos bensin, ia juga bisa hemat waktu dan tenaga. Pastinya akan ada sisa energi untuk mencoba menerima tawaran kerja. Membantu sebagai desainer junior, di kantor konsultan milik dosennya. Penghasilannya dari sana semoga bisa ditabungnya, untuk biaya Tugas Akhir. Sedikit kelakuan aneh dari gadis muram bersuara masam, atau gadis lukisan yang mengira dirinya anggota lukisan sihir di Hogwarts dan suka mengedipi tetamu, adalah harga sangat murah untuk keuntungan sebesar itu.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )