BNOW ~ Pasukan keamanan Otoritas Palestina menangkap puluhan aktivis Tepi Barat. Shaker Tameiza, pengacara dari kelompok hak-hak tahanan Addameer, mengatakan penangkapan dimulai usai serangan Israel di Jalur Gaza, yang dikuasai Hamas. Setelah serangan itu, muncul unjuk rasa di Tepi Barat yang dikuasai Fatah sebagai bentuk dukungan dan solidaritas terhadap warga Gaza.
“Penangkapan itu mengkhawatirkan. Jika terus berlanjut, kita bisa melihat ratusan penangkapan politik hanya dalam beberapa bulan,” ujar Tameiza kepada Al Jazeera.
Setelah menangkap puluhan aktivis di kota asalnya, pasukan keamanan Otoritas Palestina membawa mereka ke kompleks penjara di Jericho—kota di kawasan Otoritas Palestina dekat Sungai Yordan. Kompleks ini oleh para aktivis dijuluki rumah jagal Jericho.
“Berdasarkan keterangan yang kami dengar, yang ditangkap mengalami penyiksaan berupa shabah—digantung tangan, caci maki, dan pemukulan fisik. Undang-undang menyatakan setiap terdakwa harus diadili di kota asalnya. Pemindahan ke Jericho berarti pengacara tidak memiliki akses langsung ke mereka.”
Para aktivis ditangkap dengan tuduhan pelanggaran kebebasan berekspresi, seperti unggahan di media sosial dan nyanyian saat unjuk rasa. “Sebagian besar tuduhan kepada para aktivis kurang lebih sama, seperti memicu perselisihan sektarian dan rasial, yang berarti menghina Otoritas Palestina,” ungkap Tameiza.
Seorang aktivis yang ditangkap, Tarqi al-Khudeiri, 22 tahun, mengatakan dia dituduh meneriakkan penghinaan terhadap mendiang pemimpin Palestina Yasser Arafat, saat unjuk rasa. Al-Khudeiri secara tegas membantahnya.
“Unjuk rasa itu untuk mendukung perlawanan dan bentuk solidaritas dengan orang-orang kami di Gaza selama serangan Israel. Tidak masuk akal menggunakan protes ini untuk menghina para pemimpin politik,” ujarnya.
Aktivis muda itu diinterogasi dengan kejam selama berjam-jam. “Mereka memborgol tangan saya di belakang punggung dan menutup mata serta memaksa saya duduk berjam-jam di kursi rendah tanpa sandaran.”
Selama 24 jam pertama penahanannya, keluarga al-Khudeiri di Ramallah tidak mengetahui keberadaannya. Al-Khudeiri juga dilarang menemui pengacara.
Baca Juga: Hamas dan Israel Gencatan Senjata, Teriakan Allahu Akbar Terdengar di Gaza
Keesokannya, dia diinterogasi tentang aktivisme mahasiswanya, penangkapan sebelumnya oleh Israel pada 2019, tentang aktivis lain, dan sebagai bekas tahanan. “Mereka tidak menyukai kenyataan bahwa saya blak-blakan menentang Otoritas Palestina, dan menuduh saya sebagai anggota Hamas.”
Al-Khudeiri mengatakan dia bukan anggota Hamas. “Kalau pun saya anggota Hamas, seharusnya tidak menjadi masalah karena mereka mewakili perlawanan terhadap pendudukan Israel.”
Setelah interogator memberitahu bahwa jaksa penuntut mendakwanya dengan tuduhan “mengobarkan perselisihan”, “menghasut” dan “menghina pemimpin simbolik”, al-Khudeiri dibebaskan. Namun, dia masih bingung dengan penangkapannya itu.
Menurut Jaringan Pengacara untuk Keadilan, penangkapan politik yang meningkat sejak pekan lalu, bertentangan dengan keputusan kebebasan yang dikeluarkan Presiden Otoritas Palestina baru-baru ini.
Sementara itu, analis politik Khalil Shaheen mengatakan tindakan keras terhadap para aktivis bukan hal baru. Hal ini berakar pada kebijakan kelangsungan hidup Otoritas Palestina. Otoritas, kata Shaheen, bergantung pada legitimasi komunitas internasional yang hanya mengadopsi wacana solusi dua negara dan negosiasi proses perdamaian.
Itu artinya, unjuk rasa pun dapat dilihat sebagai ancaman oleh Otoritas karena menyimpang dari strategi mereka. “Karena bukan kepentingan Otoritas untuk melihat unjuk rasa berubah menjadi Intifada—gerakan perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel.”
Baca Juga: Rudal Israel Menyasar Warga Sipil, Membunuh Anak-anak Gaza
Di masa lalu, Otoritas Palestina menangani unjuk rasa dengan mengkooptasi pendemo atau mengontrol mereka sebagai cara menekan Israel kembali ke meja perundingan.
Namun, peristiwa dan perkembangan terakhir di lapangan telah meningkatkan situasi. Mulai dari protes di Sheikh Jarrah, penyerbuan Israel ke Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, serangan terhadap warga Palestina dalam wilayah 1948, hingga roket yang ditembakkan dari Gaza.
“Otoritas Palestina khawatir konfrontasi bersenjata dengan Israel akan menyebar ke Tepi Barat yang diduduki. Selain itu, muncul generasi baru aktivis yang tidak terpolitisasi menurut keanggotaan partai, sehingga tidak bisa dikooptasi. Para pemuda ini telah berada di garis depan konfrontasi dengan pasukan Israel, baik di Yerusalem atau di Haifa, dan secara tradisional tidak dikenal oleh Otoritas Palestina.”
Penangkapan aktivis dilihat Shaheen sebagai taktik ketakutan. Pada saat bersamaan, Israel menggelar operasi “hukum dan ketertiban” di wilayah 1948 dan menangkap ratusan warga Palestina Israel.
“Otoritas Palestina memerintah dengan ketakutan karena sangat ingin mempertahankan otoritasnya. Inilah mengapa mereka menunda pemilu karena tahu itu akan menjadi kekalahan yang memalukan bagi partai dominan Fatah.”
Bagi al-Khudeiri, sekarang bukan saatnya faksi-faksi di Palestina, baik Fatah maupun Hamas, maju dengan kepentingan politik masing-masing. “Palestina perlu mempertahankan persatuan ini, yang telah ditempa selama kejadian di Sheikh Jarrah dan seluruh Yerusalem, di Gaza, serta pada tahun 1948,” ujarnya.
Palestina, al-Khudeiri, harus tetap bersatu di bawah satu bendera untuk melawan normalisasi dan pendudukan Israel. “Pada akhirnya, apa yang kami lakukan di jalanan adalah agar orang-orang kami dapat berkembang, hidup terhormat, dan dalam kebebasan.”[]
Diperbarui pada ( 13 Maret 2024 )